Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten produsen batubara yang hendak melakukan hilirisasi kini dapat bernapas lega. Pasalnya, pemerintah berencana untuk memberikan sejumlah insentif untuk memuluskan agenda hilirisasi komoditas batubara.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mendorong hilirisasi batubara. Kebijakan tersebut meliputi pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) secara prioritas kepada BUMN dan badan usaha swasta yang mengembangkan hilirisasi serta perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP/WIUPK yang telah ditetapkan.
Selain itu, pemerintah juga memberikan jangka waktu operasi produksi hingga 30 tahun untuk pertambangan batubara yang terintegrasi dengan hilirisasi. Hal ini disertai jaminan perpanjangan setiap 10 tahun hingga cadangan habis.
Baca Juga: Tensi Perang Perang Mereda, Harga Batubara Kembali Menyala
Tak hanya itu, pemerintah juga siap mengenakan tarif iuran produksi atau royalti sebesar 0% untuk jenis hilirisasi tertentu.
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan menilai, rencana pemberian sejumlah insentif oleh pemerintah di atas kertas tentu menjadi sentimen positif bagi emiten-emiten produsen batubara, terutama yang sudah mendapat mandat untuk melaksanakan proyek hilirisasi seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), dan PT Indika Energy Tbk (INDY).
Keberadaan insentif sangat penting mengingat proyek hilirisasi batubara membutuhkan modal besar dengan periode balik modal yang cukup panjang. “Jadi, insentif ini bisa membantu menekan biaya, memperbaiki proyeksi IRR (Internal Rate Return), dan membuat proyek ini lebih layak secara bisnis,” ungkap dia, Jumat (16/5).
Dalam catatan Kontan, PTBA sedang menggarap beberapa proyek terkait hilirisasi batubara. Di antaranya adalah konversi batubara menjadi Arficial Graphite dan Anode Sheet untuk bahan baku baterai Lithium-Ion (Li-ion) yang bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta hilirisasi batubara menjadi Subtitute Natural Gas (SNG) melalui kolaborasi dengan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS).
Selain itu, PTBA juga masih mencari investor strategis untuk melanjutkan kembali proyek hilirisasi batubara menjadi Dymethil Ether (DME) sebagai subtitusi atas produk LPG.
Sementara itu, BUMI menggelar agenda hilirisasi melalui dua anak usahanya PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia. KPC hendak mengembangkan proyek hilirisasi batubara menjadi metanol senilai US$ 2,17 miliar, sedangkan Arutmin turut menggarap proyek metanol dan amonia senilai US$ 2,7 miliar.
Baca Juga: Produksi Batubara RI Tembus 171 Juta Ton pada Kuartal I-2025, Target Bakal Tercapai?
Ada pula INDY melalui Kideco Jaya Agung yang mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) serta produksi amonia dan urea sebagai langkah dari hilirisasi batubara.
Investment Analyst Edvisor Provina Visindo Indy Naila menambahkan, jika rencana pemberian insentif dapat direalisasikan, hal ini akan berdampak positif terhadap peningkatan margin profitabilitas bagi emiten yang mengerjakan proyek hilirisasi. Namun, perlu diingat juga bahwa keberadaan insentif tidak serta merta menghilangkan risiko volatilitas harga batubara yang masih terus terjadi.
“Emiten tetap harus meningkatkan kemampuan menjaga efisiensi operasional,” imbuh dia, Jumat (16/5).
Dia juga menyebut, hilirisasi batubara relatif lebih sulit diwujudkan ketimbang hilirisasi mineral logam. Selain membutuhkan biaya investasi yang tinggi, pencarian terhadap investor atau mitra strategis untuk proyek hilirisasi batubara juga sulit dilakukan. Sebab, sebagian investor mulai mengalihkan fokusnya ke proyek yang berkaitan dengan transisi energi hijau.
Sementara menurut Ekky, investasi di bidang hilirisasi batubara jauh lebih besar lantaran teknologinya lebih kompleks dan keekonomian proyeknya sulit tercapai tanpa adanya subsidi atau insentif. Risiko bisnis atas proyek hilirisasi batubara juga cukup tinggi, ditambah margin yang didapat lebih tipis. Hal ini membuat emiten batubara cukup kesulitan mencari mitra strategis untuk melaksanakan proyek hilirisasi.
Baca Juga: ESDM Siap Menebar Insentif Hilirisasi Batubara
Terlepas dari itu, jika hilirisasi batubara dapat berjalan, tentu ini akan menjadi sumber pendapatan baru yang menjanjikan bagi emiten-emiten di sektor tersebut. Hilirisasi sebagai bagian dari diversifikasi bisnis dapat menjadi kekuatan baru bagi emiten pada masa depan, apalagi jika ekspor batubara mentah mulai dibatasi.
“Secara jangka panjangnya positif, tapi tetap tergantung pada keberhasilan implementasi proyek dan kondisi pasar global,” kata Ekky.
Ekky melanjutkan, saham-saham emiten batubara yang mengerjakan proyek hilirisasi seperti PTBA, INDY, BUMI termasuk layak dibeli, namun investor tetap harus selektif. Harga saham PTBA ditargetkan dapat mencapai kisaran Rp 3.000—3.200 per saham, harga saham INDY ditargetkan mencapai Rp 2.000 per saham, serta BUMI diproyeksikan harga sahamnya berada di level Rp 150 per saham.
Indy merekomendasikan beli saham PTBA dengan target harga di level Rp 3.000 per saham. Rekomendasi beli juga diberikan untuk saham INDY dengan target harga Rp 1.760 per saham. Adapun saham BUMI direkomendasikan speculative buy dengan target harga Rp 175 per saham.
Selanjutnya: Kemenhut: Indonesia Butuh Pendanaan Rp 400 Triliun untuk Program FOLU Net Sink 2030
Menarik Dibaca: 13 Makanan yang Tidak Boleh Dimakan Berlebihan oleh Penderita Asam Lambung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News