Reporter: Rashif Usman | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masa 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diwarnai dengan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Tengok saja, pasca pelantikan Prabowo-Gibran, pergerakan mata uang Garuda pada pasar spot Senin (21/10/2024) lalu ditutup pada level Rp 15.503 per dolar AS. Sementara, nilai kurs rupiah ditutup pada posisi Rp 16.172 per dolar AS pada Jumat (24/1) lalu.
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong menyampaikan kondisi pergerakan rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang didorong kekhawatiran terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump.
Baca Juga: Dolar AS Menguat pada Senin (27/1) Setelah Ancaman Trump terhadap Kolombia
Menghadapi tahun ini, dolar AS diproyeksikan tetap kuat sehingga memberikan tekanan terhadap rupiah.
Namun, dengan revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mewajibkan parkir dana 100% dalam kurun waktu satu tahun, terdapat harapan bahwa rupiah tidak akan tertekan terlalu dalam.
"Diharapkan rupiah tidak akan terlalu melemah dan mungkin juga bisa menguat," kata Lukman kepada Kontan, Senin (27/1).
Lukman menambahkan, faktor eksternal akan menjadi penentu utama pergerakan rupiah di tahun ini.
Dinamika hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China, pelemahan ekonomi China yang memicu stimulus, hingga perang di Ukraina dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah akan menjadi katalis utama yang mempengaruhi arah rupiah.
Selain itu, apabila revisi PP DHE berjalan efektif dan berhasil memperbaiki cadangan devisa, nilai tukar rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran Rp 16.000–Rp 17.000 per dolar AS hingga akhir tahun 2025.
Kemudian, jika terdapat perbaikan dalam kebijakan Donald Trump yang melunakkan tensi global, nilai tukar rupiah bahkan berpeluang berada di bawah Rp 16.000 per dolar AS.
Analis Mata Uang Ibrahim Assuaibi mengungkapkan pada awal pemerintahan Prabowo-Gibran, nilai tukar rupiah bertahan di bawah Rp 16.000 per dolar AS.
Baca Juga: Ini Penyebab Rupiah Menguat 1,3% Terhadap Dolar AS Sepekan Terakhir
Namun, tekanan dari eksternal, seperti geopolitik di Timur Tengah dan Eropa, serta komentar Trump yang mengindikasikan perang dagang bertahap dengan China, Kanada, Meksiko, dan Eropa, membuat rupiah terdepresiasi hingga melewati Rp 16.000.
Gonjang-ganjing politik dalam negeri turut memperburuk situasi.
Penetapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus suap oleh KPK memicu ketidakpastian politik yang mempengaruhi sentimen pasar. Nilai tukar rupiah bahkan sempat mendekati Rp 16.400 akibat situasi ini.
Kemudian, dari eksternal, Bank Sentral China pun juga akan menurunkan suku bunga dengan tujuan untuk menahan kekuatan Trump dalam melakukan perang dagang. Tetapi Trump sendiri kemungkinan besar akan melakukan perang dagang dengan China dengan cara bertahap, tidak secara langsung.
Nah ini yang sebenarnya membuat pasar sedikit tenang dan dolar AS terus mengalami pelemahan serta rupiah mengalami penguatan.
Baca Juga: Rupiah Menguat Bukan Karena Fundamental, Tapi Akibat Indeks Dolar AS Melemah
"Pergerakan rupiah hingga tutup akhir tahun kemungkinan besar masih fluktuatif," kata Ibrahim kepada Kontan, Senin (27/1).
Ibrahim memproyeksikan nilai tukar rupiah dapat kembali di bawah Rp 16.000, bahkan mendekati Rp 15.000, jika tekanan eksternal mereda.
Namun, risiko penguatan dolar AS akibat tensi geopolitik dan perang dagang dapat membuat rupiah kembali melemah hingga Rp 16.500.
Selanjutnya: Bill Gates Akui Perceraian dengan Melinda Penyesalan Terbesarnya
Menarik Dibaca: Bali Mayoritas Hujan, Waspadai Hujan Petir di 3 Wilayah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News