Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk, Elisabet Lisa Listiani Putri | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Penjualan properti masih melambat di awal tahun ini. Indikasinya, rata-rata laba bersih 11 emiten properti di kuartal I 2016 melorot 17%. Melihat hal itu, Bank Indonesia (BI) berniat melonggarkan aturan kredit yang bisa mendorong penjualan properti.
Bank sentral berencana merelaksasi aturan kredit kepemilikan rumah (KPR). Dua opsi tengah dikaji, yakni menghapus larangan pembelian secara kredit untuk rumah inden kedua dan melonggarkan batasan porsi pembiayaan atau loan to value (LTV) pembelian rumah.
Selama ini, pembelian properti secara kredit inden hanya diperbolehkan untuk rumah pertama. Adapun LTV rumah pertama dengan luas bangunan di atas 70 m2 sebesar 80% atau uang muka 20%, rumah kedua sebesar 70% dan rumah ketiga 60%. Sejumlah emiten menyambut baik rencana bank sentral.
Adrianto Adhi, Direktur Utama Summarecon Agung (SMRA), menilai, rencana BI positif untuk mendorong penjualan properti. Selama ini, banyak orang yang sudah punya rumah ingin membeli rumah yang lebih bagus, tapi terkendala aturan inden.
Sekretaris Perusahaan Intiland Development (DILD), Theresia Rustadi menilai, penghapusan larangan kredit inden rumah kedua akan berefek positif terhadap penjualan properti. Dia mencontohkan, jika seorang anak ingin membeli rumah, namun belum disetujui bank, maka orangtua bisa mengajukan kredit rumah kedua mereka.
"Dengan kebijakan ini, masalah sumber pembiayaan bisa dipecahkan," ujar dia.
Harun Hajadi, Managing Director Ciputra Development (CTRA), menilai, rencana bank sentral bagus untuk bisnis properti. Permintaan properti masih besar, tapi terkendala pendanaan. Saat ini, penjualan CTRA dengan fasilitas KPR mencapai 43%.
Namun, Harun maupun Theresia belum bisa memprediksikan dampak pelonggaran kredit properti terhadap penjualan emiten. Sebab, penjualan properti dipengaruhi banyak faktor.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, menilai, efek relaksasi pembiayaan properti tak akan signifikan. Pasalnya, masalah utama sektor ini adalah rendahnya permintaan.
"Dua tahun lalu permintaan properti tinggi sehingga harga properti melambung. Kemudian daya beli masyarakat turun, sementara harga properti masih tinggi sehingga permintaan berkurang," kata dia.
Berharap dana masuk
Hans menilai faktor yang bisa menopang pertumbuhan properti secara signifikan adalah tax amnesty. Dengan kebijakan ini, akan banyak dana asing masuk ke dalam negeri, termasuk ke sektor properti. Dia menilai, permintaan properti akan semakin meningkat terutama di segmen menengah ke atas.
Hal senada disampaikan Franky Rivan, analis Daewoo Securities. "Dampak tax amnesty lebih besar daripada pelonggaran LTV," kata dia.
Sedangkan analis MNC Securities Gilang Anindito menilai, efek relaksasi aturan properti sangat besar. Penjualan emiten properti selama ini banyak memakai fasilitas KPR. Ditambah penurunan bunga kredit, maka permintaan properti terdorong.
Hans dan Franky menilai, emiten yang paling diuntungkan adalah mereka yang memiliki penjualan KPR cukup besar seperti CTRA, LPKR, BSDE dan SMRA. Hans memperkirakan, sektor properti tahun ini tumbuh 10%-12%, dengan asumsi adanya kebijakan tax amnesty.
Ditambah relaksasi aturan kredit properti, pertumbuhannya bisa mencapai 15%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News