Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk, Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Salah satu kenikmatan investor langsung nyemplung berinvestasi ke saham adalah mencicipi lezatnya dividen. Nah, indikator besarnya dividen terlihat dari laba bersih per saham alias earning per share (EPS).
Berdasarkan data kompilasi laporan keuangan tahun lalu, investor saham bank bisa nyengir lebar. Rata-rata, 10 emiten bank terbesar di Indonesia memberi laba Rp 379,52 per saham.
Emiten lain, seperti pertanian memberi EPS Rp 120,13, sementara saham emiten consumer goods hanya memberi laba Rp 68,71 per saham. Bahkan EPS emiten pertambangan minus Rp 32,54. Artinya, investor yang memiliki 1 juta saham emiten tambang, dia merugi sekitar Rp 32,54 juta.
Laba besar saham bank tak lepas dari keuntungan bank yang luar biasa besar. Lirik saja, tahun lalu Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencetak laba Rp 24,2 triliun, naik 14,35% dari setahun lalu. Menyusul Bank Mandiri Tbk (BMRI), meraup Rp 19,9 triliun dan laba Bank BNI Tbk (BBNI) Rp 10,78 triliun.
Total jenderal, laba 10 bank besar sepanjang 2014 mencapai Rp 82,13 triliun, naik 5,18% dibandingkan tahun 2013 yang sebesar Rp 78,09 triliun. Apa artinya? "Itu tidak fair, kami yang beneran memeras keringat di sektor riil berdarah-darah, sementara bank yang menyalurkan kredit bisa mencetak laba sebesar itu," keluh seorang direktur utama sebuah perusahaan besar.
Sang bos ini juga puyeng menghadapi pelemahan rupiah. "Hedging percuma, biayanya besar," terangnya. Sementara bank tetap bisa meraup laba dari jual-beli valas.
Perbankan membukukan kinerja positif salah satunya karena mampu menghimpun dana murah, dan menyalurkan kreditnya dengan bunga tinggi. Alhasil, bank bisa mereguk margin nan lebar.
Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo melihat, perbankan semakin defensif karena telah beberapa kali menghadapi tantangan krisis ekonomi. Tahun ini kinerja sektor perbankan lebih baik dari tahun lalu.
Di emiten non-bank para analis menilai, sektor prospek cerah tahun ini adalah infrastruktur dan turunannya, seperti semen dan konstruksi, termasuk ritel. Sektor konsumer juga menarik. Hans Kwee, Direktur Investas Saran Mandiri mengatakan, daya beli masyarakat masih tinggi dan bisa menerima harga naik.
Kepala Riset Batavia Prosperindo Sekuritas, Andy Ferdinand, menilai, perkebunan lebih baik dibanding komoditas. Namun, sektor perkebunan masih dibayangi isu harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO).
Emiten dengan eksposur valas tinggi akan tertekan, Yang menarik, baik Satrio, Andy dan Hans menganjurkan investor memiliki porsi lebih besar di emiten perbankan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News