Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Demi mengangkat margin pada tahun ini, PT Wismilak Inti Makmur (WIIM) berniat mengerek harga jual produk sebesar 10%. Kenaikan ini dianggap perlu, meski tak menjamin berefek positif terhadap penjualan.
Pada kuartal I 2015, WIIM telah menaikkan harga jual produk antara 3%-4% setiap bulan, dengan kenaikan bervariasi. Menyusul regulasi baru mengenai kenaikan cukai pada tahun ini, WIIM berencana menjaga gross margin 30%.
Analis NH Korindo Securities Reza Priyambada menuturkan WIIM perlu menaikkan margin laba pada tahun ini, setelah tahun lalu WIIM membukukan penurunan margin laba akibat kenaikan cukai rokok. Langkah emiten ini mengerek harga jual rokok sebesar 10% dinilai cukup realistis, jika ingin pendapatan bersih tahun 2015 naik.
Minat masyarakat Indonesia untuk membeli rokok terbilang besar. Sekitar 58,35 juta penduduk berusia di atas 15 tahun adalah perokok aktif. Reza menilai, pasar rokok masih kuat meski daya beli masyarakat saat ini melemah. "Produk rokok memiliki pasar sendiri. Langkah Wismilak menaikkan harga 10% masih wajar untuk mengangkat margin," ungkap Priyambada.
Kendati demikian, dia agak pesimistis dengan langkah ini. Menurutnya, masyarakat secara umum masih memilih produk rokok merek Gudang Garam dan Sampoerna ketimbang Wismilak.
Dus, WIIM perlu berhati-hati menaikkan harga rokoknya. Jika kenaikan harga jual 10%, WIIM masih bisa bersaing dengan produk lain. Pendapatan bersih emiten ini pun bisa terkerek. Sebaliknya, jika tidak, keputusan menaikkan harga jual menjadi bumerang.
Harga produk rokok kelas premium WIIM, Diplomat 16 di pasaran Rp 20.000 per bungkus. Jika nanti harga jual naik 10%, maka harganya menjadi Rp 22.000. Ketimbang produk lain, harga rokok WIIM sedikit lebih mahal.
Produk Sampoerna Mild, misalnya, dijual Rp 20.000 per bungkus, bahkan harga Djarum Travo Rp 18.000. "Mereka semua di kelas rokok premium," jelas Priyambada.
Jika WIIM tetap menaikkan harga 10%, perlu promosi lebih gencar lagi untuk menarik minat masyarakat. Tentu saja, langkah ini berefek pada membengkaknya biaya promosi. Meski volume penjualan tahun ini diprediksi tinggi, biaya promosi ikut naik. Priyambada pun memproyeksikan penjualan WIIM tumbuh 8,4% year-on-year (yoy) menjadi Rp 1,8 triliun. Prediksi ini diambil dengan asumsi ketika harga jual produk naik, tak terjadi penurunan daya beli.
Priyambada memprediksi, laba bersih WIIM naik 19,3% (yoy) menjadi Rp 133 miliar. Proyeksi laba bersih juga dengan asumsi tak ada lonjakan biaya promosi, cukai dan bahan baku. "Kalau tidak ada kenaikan biaya apapun hingga akhir tahun, kinerja WIIM akan stabil," ujar dia.
Analis MNC Securities Reza Nugraha berpendapat, kenaikan harga jual diperlukan untuk mempertahankan margin. Namun, dia tidak yakin langkah WIIM akan berefek positif ke angka penjualan pada tahun ini. Nugraha mengkhawatirkan ada penurunan pembelian produk rokok jika harganya naik 10%.
Dia mengakui, manajemen WIIM menghadapi tekanan yang menerpa industri rokok, seperti kenaikan cukai dan bahan baku cengkeh sehingga memaksa emiten mengerek harga jual produk. "Tekanan terhadap industri rokok memang besar tahun ini, ada kenaikan cukai dan cengkeh," terang Nugraha.
Ia memproyeksikan, pendapatan WIIM tahun ini tumbuh 5%-7% (yoy) menjadi Rp 1,74 triliun-Rp 1,78 triliun. Menurut dia, pendapatan WIIM tumbuh tipis lantaran kebijakan pemerintah tidak mendukung industri rokok.
Prediksi tersebut jauh di bawah target manajemen WIIM. Sepanjang tahun ini, manajemen membidik penjualan tumbuh 20%-25% (yoy) menjadi Rp 1,99 triliun hingga Rp 2,08 triliun.
Priyambada merekomendasikan buy WIIM dangan target Rp 501. Analis Mandiri Sekuritas Herman Koeswanto juga merekomendasikan buy dengan target Rp 840. Adapun Nugraha merekomendasikan hold dengan target Rp 505. Harga saham WIIM kemarin (20/5) naik 0,83% menjadi Rp 484 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News