Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia secara resmi menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sebanyak 50 basis poins (bps) menjadi 6,5%. BI juga menaikkan bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,75% dan suku bunga Lending Facility tetap pada level 6,75%.
BI mengatakan, kebijakan tersebut ditempuh untuk memastikan inflasi yang meningkat pasca kenaikan harga BBM bersubsidi dapat segera kembali ke dalam lintasan sasarannya. Selain itu, BI juga memperkuat bauran kebijakan. Pertama, melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah yang sesuai kondisi fundamentalnya dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar valas.
Kedua, menyempurnakan ketentuan loan to value ratio sektor properti terkait Kredit Perumahan Rakyat (KPR)/Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) untuk tipe-tipe tertentu. Dan ketiga yakni memperkuat langkah koordinasi dengan pemerintah dengan fokus meminimalkan tekanan inflasi serta memelihara stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan.
Analis MNC Securities Edwin Sebayang mengatakan, kenaikan BI Rate yang terlalu besar dalam satu kali kebijakan membuat market untuk sementara waktu menjadi bearish. Sebab, ekspektasi pelaku pasar mengharapkan BI Rate hanya naik 25 bps, sambil mencermati inflasi bulan Juli.
"Langkah ini secara implisit mencerminkan kepanikan dari Bank Indonesia menghadapi tekanan rupiah dan derasnya penurunan cadangan devisa," kata Edwin pada Kamis (11/7).
Analis Trust Securities Reza Priyambada bilang, semula ekspektasi kenaikan BI Rate hanya sebesar 25 bps, menjadi 6,25%. Reza mengatakan, sebelumnya dia berasumsi bahwa BI akan tetap mempertahankan level BI Rate sambil mengeluarkan kebijakan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
"Kami menilai inflasi yang terjadi saat ini lebih dikarenakan adanya dampak dari ekspektasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mempengaruhi harga transportasi dan akhirnya turut mempengaruhi harga bahan pangan," kata Reza.
Dari sisi nilai tukar, meski BI rate dinaikkan, menurut Reza hanya memiliki efek sementara terhadap apresiasi rupiah karena sentimen yang ada saat ini lebih menguatkan nilai dollar Amerika Serikat. Menurut Reza selama sentimen tappering monetary stimulus The Federal Reserve masih berhembus, maka mata uang dollar Amerika Serikat akan dalam laju penguatan.
"Jika memang nilai rupiah ingin lebih kuat, seharusnya BI dan pemerintah bisa menjaga kondisi fundamental dalam negeri," ujar Reza
Imbas terhadap IHSG atas keputusan kenaikan BI rate mungkin belum terlihat dampaknya karena masih terimbas oleh laju pasar saham Asia yang menghijau. Namun di sisi lain, kata Reza, dengan adanya gap yg muncul di level 4.495-4.504 maka bisa saja IHSG akan kembali melemah menuju level tersebut, karena faktor dari kenaikan BI rate tersebut.
"Semoga perbankan tidak gegabah dalam mengubah suku bunganya, yang akhirnya bisa menambah sentimen negatif berupa terjadinya penurunan laju kredit nasional," ucap Reza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News