Reporter: Kenia Intan | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepekan terakhir bursa global cenderung tertekan. Menurut data RTI Business, di bursa Asia ada Nikkei 225 (N225) yang mengalami koreksi hingga 8,09% ke level 17.820,19. Setali tiga uang, Strait Times Index Singapore (STI) juga melemah cukup dalam, hingga 5,52% ke level 2.389,29.
Pelemahan juga terjadi pada Hang Seng Index Hongkong (HSI) dan Shanghai Composite Index (SSEC) yang masih-masing turun 1,06% dan 0,52% di pekan lalu. Sementara itu, Kospi berhasil menguat tipis 0,45% di periode Jumat (27/3) hingga Jumat (3/4) lalu
Hal yang sama terjadi pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menghijau hingga 1,71% ke level Rp 4.623,43 pada penutupan perdagangan, Jumat (3/4).
Baca Juga: Wall Street rontok lebih 1,5%, masih dihantui dampak virus corona
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, kenaikan harga minyak mentah dunia pekan lalu menjadi sentimen bagi sebagian besa bursa global meski hanya sesaat. Di Eropa misalnya, Bursa Eropa bergerak fluktuatif setelah terangkat karena kenaikan harga minyak.
Seperti diketahui, Jumat (3/4), harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman bulan Juni 2020 di ICE Futures naik 13,93% ke US$ 34,93 per barel. Ini adalah kali pertama dalam dua pekan terakhir harga minyak Brent kembali ke atas US$ 30 per barel.
Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Mei 2020 di Nymex juga melesat 11,93% menjadi US$ 28,34 per barel.
Akan tetapi, sentimen positif itu tidak berdampak lama karena semakin membengkaknya kasus virus corona di beberapa negara di kawasan Benua Biru seperti Italia, Spanyol, Jerman, dan Prancis.
Adapun di kawasa Eropa, sebagian saham industri keuangan mengalami tekanan akibat penundaan dan pembatalan pembagian dividen. Perusahaan memilih melakukan buyback saham mengikut anjuran Bank Sentral Eropa (ECB).
ECB memang menganjurkan agar uang tunai yang dihasilkan harus digunakan untuk menopang perekonomian kawasan tersebut.
Dalam jangka pendek, terutama dalam periode ketidakpastian, pelaku pasar memang akan lebih mementingkan kas. Oleh karenanya, pelaku pasar memilih menjual aset berisiko dan memegang kas.
Baca Juga: IHSG bangkit di pekan ini, bagaimana dengan pekan depan?
"Kami pikir pasar Europa akan cenderung fluktuasi cenderung tertekan," imbuh Hans Kwee. Hal ini karena tingkat kematian virus corona di Eropa lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain.
Ke depan, bursa Eropa akan lebih berat dibandingkan bursa global lain. Asal tahu saja, FTSE 100 index di London (FTSE) misalnya, melemah ke level 5.415,5. Sementara itu, Xetra Dax Frankurt (GDAXI) juga menurun 1,11% ke level 9.525,8.
Pasar keuangan dunia sesungguhnya sempat merespon positif pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Putra Mahkota Saudi Mohammad Bi Salmam untuk mengurangi produksi minyak mentah.
Trump memperkirakan, kedua produsen minyak dunia itu akan mengurangi produksi hingga 10 juta barel. Dan diharapkan kedua negara kembali bertemu bersama anggota OPEC+ lainnya guna membicarakan mengenai pengurangan produksi minyak mentah.
Hal tersebut sempat menjadi angin segar setelah penurunan permintaan akibat aktivitas lockdown yang dilakukan oleh sebagian besar negara saat melawan virus corona. Bahkan hingga saat ini, baru China yang bangkit dari keterpurukan akibat virus corona.
Sementara itu, bursa saham AS atawa Wall Street masih terlihat lesu setelah mencetak kasus terbanyak virus corona. Hingga Sabtu (4/4) waktu setempat, sudah ada 309.000 kasus penularan virus corona. Sementara dalam 24 jam terakhir, jumlah korban meninggal bertambah menjadi 8.441.
Tekanan bagi Wall Street semakin besar karena Gedung Putih memprediksi puncak wabah virus corona di Negeri Paman Sam ini akan terjadi pekan depan. Di mana jumlah korban terinfeksi virus corona bertambah 100.000 hingga 240.000.
"Pasar dalam dua pekan ke depan akan memperhatikan pernyataan Presiden Donald Trump yang mengatakan mereka bersiap dengan lonjakan kasus virus korona baru dalam dua pekan ke depan," jelas Hans lagi.
Virus corona juga menggerogoti ekonomi AS. Sejumlah stimulus fiskal telah diluncurkan pemerintah, namun belum terasa signifikan ke warga negara AS. Selain data ISM Manufaktur yang melorot, jumlah pengangguran di Negeri Paman Sam pun membludak di bulan Maret lalu.
Baca Juga: Sebagian bursa Asia menguat jelang akhir pekan
Hal ini membuat Hans Kwee menyebut bahwa pandemi virus corona ini dinilai lebih berat dibandingkan krisis moneter yang terjadi tahun 2008.
Sebab pada tahun 2008, stimulus yang diberikan mampu mengerek ekonomi. Sementara saat ini, stimulus sulit untuk mendorong ekonomi kembali karena ada kebijakan lockdown di beberapa negara. Di Indonesia sendiri sudah menerapakan physical distancing.
"Diberi stimulus tetapi orang lagi lockdown, maka tetap tidak bisa jalan," kata dia. Selama lockdown, maka yang akan diterima adalah data-data ekonomi yang kurang menyenangkan dan pasar akan merespon negatif hal tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News