Reporter: Kenia Intan | Editor: Anna Suci Perwitasari
Sementara itu, bursa saham AS atawa Wall Street masih terlihat lesu setelah mencetak kasus terbanyak virus corona. Hingga Sabtu (4/4) waktu setempat, sudah ada 309.000 kasus penularan virus corona. Sementara dalam 24 jam terakhir, jumlah korban meninggal bertambah menjadi 8.441.
Tekanan bagi Wall Street semakin besar karena Gedung Putih memprediksi puncak wabah virus corona di Negeri Paman Sam ini akan terjadi pekan depan. Di mana jumlah korban terinfeksi virus corona bertambah 100.000 hingga 240.000.
"Pasar dalam dua pekan ke depan akan memperhatikan pernyataan Presiden Donald Trump yang mengatakan mereka bersiap dengan lonjakan kasus virus korona baru dalam dua pekan ke depan," jelas Hans lagi.
Virus corona juga menggerogoti ekonomi AS. Sejumlah stimulus fiskal telah diluncurkan pemerintah, namun belum terasa signifikan ke warga negara AS. Selain data ISM Manufaktur yang melorot, jumlah pengangguran di Negeri Paman Sam pun membludak di bulan Maret lalu.
Baca Juga: Sebagian bursa Asia menguat jelang akhir pekan
Hal ini membuat Hans Kwee menyebut bahwa pandemi virus corona ini dinilai lebih berat dibandingkan krisis moneter yang terjadi tahun 2008.
Sebab pada tahun 2008, stimulus yang diberikan mampu mengerek ekonomi. Sementara saat ini, stimulus sulit untuk mendorong ekonomi kembali karena ada kebijakan lockdown di beberapa negara. Di Indonesia sendiri sudah menerapakan physical distancing.
"Diberi stimulus tetapi orang lagi lockdown, maka tetap tidak bisa jalan," kata dia. Selama lockdown, maka yang akan diterima adalah data-data ekonomi yang kurang menyenangkan dan pasar akan merespon negatif hal tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News