Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kendati masih ada sejumlah risiko yang mengintai pasar keuangan Indonesia, pada dasarnya para investor sudah mendapat stimulus positif akibat penurunan suku bunga acuan. Hal ini mempermudah investor dalam memilih sekaligus mengatur portofolio investasinya.
Direktur Utama PT Mandiri Manajemen Indonesia (MMI) Alvin Pattisahusiwa mengatakan, penurunan suku bunga acuan sejatinya membuat aset-aset seperti obligasi dan saham lebih prospektif dalam beberapa waktu ke depan.
Terkait obligasi, penurunan suku bunga acuan membuat likuiditas di pasar instrumen tersebut meningkat. Pasalnya, ada banyak arus modal asing yang masuk ke pasar obligasi dalam negeri.
Baca Juga: Mandiri Manajemen Investasi: IHSG minimal menyentuh 6.600 di akhir tahun ini
Memang, belakangan ini volatilitas kembali meningkat seiring memanasnya isu perang dagang dan perlambatan ekonomi global. Namun, sentimen tersebut hanya bersifat sementara. Pada akhirnya, pasar obligasi nasional tetap menarik apalagi Indonesia telah mengalami kenaikan peringkat utang dari S&P Global Ratings.
Tak hanya itu, yield surat utang negara (SUN) juga masih cukup atraktif di kisaran 7,20%--7,30% untuk tenor 10 tahun.
“Saat ini yield surat utang di negara-negara maju sudah banyak yang negatif akibat pemangkasan suku bunga acuan. Akhirnya, investor global mencari negara dengan yield tertinggi. Indonesia pun termasuk di dalamnya,” ungkap Alvin saat ditemui Kontan.co.id, Selasa (20/8).
Baca Juga: Prospek pasar obligasi masih cukup positif hingga akhir tahun
Ia menambahkan, ketika tren suku bunga acuan turun terjadi, ini menjadi kesempatan emas bagi investor untuk memburu obligasi bertenor panjang. Sebab, seri-seri tenor panjang umumnya akan lebih pesat kenaikan harganya ketika pasar sedang reli akibat dorongan sentimen penurunan suku bunga acuan.
Di kesempatan berbeda, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan, akses bagi investor ritel untuk masuk ke pasar obligasi secara langsung relatif lebih sulit. Maka dari itu, investor demikian dapat memanfaatkan instrumen reksadana pendapatan tetap yang juga bisa memberikan kinerja positif akibat pemangkasan suku bunga acuan.
“Ketika suku bunga acuan turun, reksadana pendapatan tetap berpotensi memperoleh kenaikan kinerja rata-rata 8%--10%,” terangnya, Selasa (20/8).
Instrumen saham juga diuntungkan oleh pemangkasan suku bunga acuan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pertumbuhan kinerja saham mesti ditelusuri dari sisi makro dan mikro.
Baca Juga: Manulife: Menyambut era suku bunga rendah, IHSG bisa ke 6.800
Dalam hal ini, kinerja suatu saham bisa saja terangkat akibat efek sentimen penurunan suku bunga terhadap kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Tapi di sisi lain, bukan tidak mungkin suatu saham belum bisa mengalami kenaikan harga secara signifikan karena faktor mikro seperti sektor industri tertentu ternyata tidak merasakan efek penurunan suku bunga acuan.
“Jadi pertumbuhan kinerja kelas aset saham baru bisa optimal kalau faktor makro dan mikronya bagus,” imbuh Alvin.
Rudiyanto menilai, kinerja pasar saham Indonesia kemungkinan baru akan meningkat signifikan tatkala muncul momentum penurunan suku bunga acuan untuk kedua kalinya, baik oleh BI maupun The Federal Reserves. Menurutnya, pemotongan suku bunga acuan sebanyak 25 bps lalu belum sepenuhnya berdampak optimal bagi sektor-sektor terkait.
“Penurunan suku bunga acuan masih bisa terjadi di akhir tahun atau di awal tahun depan,” ujarnya.
Baca Juga: Era bunga rendah, para pemburu imbal hasil bersiap masuk pasar obligasi Indonesia
Walau begitu, investor masih bisa membeli instrumen berbasis saham sejak dini karena prospeknya yang tergolong positif untuk jangka panjang. Justru, ketika pasar masih rentan risiko volatilitas, ini menjadi kesempatan besar bagi investor untuk berburu saham di harga yang relatif murah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News