Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
BRPT membukukan pendapatan sebesar US$ 726 juta, naik 18,9% dari posisi periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 611 juta.
Kepala riset Henan Putihrai Sekuritas Robertus Yanuar Hardy menyebut, pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi atau EBITDA BRPT berhasil melonjak 225%, disebabkan karena adanya efek dasar yang rendah (low base effect). Hal ini menyusul kejatuhan harga minyak mentah WTI pada akhir Maret 2020. Saat itu, harga jual beberapa produk petrokimia BRPT menurun lebih dalam dari harga minyak acuan.
Namun, profitabilitas BRPT pada kuartal pertama berhasil pulih menyusul rebound harga minyak menjadi US$ 59 per barel pada akhir Maret 2021 dan saat ini sudah berada di level US$72 per barel.
Baca Juga: Pendapatan dan laba naik, simak rekomendasi saham AKR Corporindo (AKRA)
Robertus memperkirakan EBITDA BRPT dapat tumbuh 60,7% year-on-year (YoY) menjadi Rp 12,6 triliun (US$875,8 juta). Ini karena adanya efek low base pada 2020 dan hasil interim kuartal pertama 2021 yang cukup baik.
Saham BRPT diperdagangkan pada valuasi yang cukup murah, hanya 8,0/7,4 kali dari rasio enterprise value (EV)/EBITDA 21F/22F-nya, dibandingkan dengan perusahaan petrokimia/geothermal global lainnya yang saat ini diperdagangkan pada rata-rata 10,8/10,3 kali dari rasio EV/EBITDA-nya.
Robertus merekomendasikan beli saham BRPT dengan target harga Rp 1.080. Sementara untuk saham TINS, Sukarno menyebut pelaku pasar bisa melakukan hold atau trading buy dalam jangka pendek dengan target harga Rp 1.925.
CTRA masih prospektif
Di sisi lain, Analis NH Korindo Sekuritas Ajeng Kartika menyebut, keluarnya CTRA dari konstituen LQ45 membuat pergerakan sahamnya akan lebih fluktuatif secara jangka pendek, karena akan ada beberapa fund besar yang keluar.