Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingkat gagal bayar obligasi korporasi pada sisa tahun ini diperkirakan kembali meningkat. Asal tahu saja, berdasarkan data dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) ada tren kenaikan tingkat gagal bayar pada semester I 2021.
Misalnya, tingkat gagal bayar institusi non-keuangan yang naik dari 2,2% pada akhir 2020 menjadi 2,52% pada akhir Juni 2021. Sementara tingkat gagal bayar institusi keuangan bergerak flat di level 0,10%.
Jika dilihat dari sisi rating, rating A juga mengalami kenaikan tingkat gagal bayar menjadi 3,1% dari sebelumnya 2,62%. Sementara obligasi korporasi dengan rating AAA belum pernah mengalami gagal bayar.
Adapun, untuk rating AA mengalami penurunan dari 0,34% menjadi 0,33% pada akhir Juni. Begitu pun rating BBB yang turun dari 4,65% menjadi 4,51%.
Baca Juga: Ini 6 tantangan yang harus dihadapi industri multifinance
Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C Permana mengungkapkan, peluang tingkat gagal bayar kembali naik cukup terbuka pada sisa tahun ini, khususnya untuk rating A ke bawah. Apalagi, dengan adanya PPKM Darurat saat ini maka risiko pada surat utang korporasi juga semakin tinggi.
Fikri juga melihat, data-data seperti penjualan riil mulai memperlihatkan hasil yang lebih rendah dari data sebelumnya. PPKM Darurat berpotensi mendorong hasilnya akan lebih rendah ke depan, terlebih ketika pemerintah memutuskan untuk memperpanjang durasi PPKM Darurat.
“PPKM Darurat ini berpotensi akan menghambat bisnis sebuah perusahaan, yang pada akhirnya akan mendorong risiko cashflow terganggu juga semakin tinggi. Dengan risiko yang meningkat, sumber pendanaan perusahaan akan semakin terbatas. Ini semua pada akhirnya bisa membuat tingkat gagal bayar jadi naik,” ungkap Fikri ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (9/7).
Baca Juga: Tingkat gagal bayar obligasi korporasi berpotensi naik pada semester II 2021
Oleh karena itu, Fikri menyebut investor saat ini harus lebih ekstra teliti dalam memilih obligasi korporasi. Menurutnya, investor harus mempertimbangkan kualitas kredit penerbit, sektor bisnisnya, hingga sudah terbukti secara historis punya kualitas yang baik.
Ia melihat, sektor seperti telekomunikasi, farmasi, kesehatan, hingga perbankan masih punya prospek yang menarik.
Sementara dari sisi tenor, Fikri meyakini durasi 2-9 tahun saat ini punya risiko paling tinggi serta volatilitas yang juga tinggi. Apalagi, pada tenor ini juga ada ancaman kenaikan suku bunga oleh The Fed, hingga potensi tapering seiring adanya rencana The Fed mengurangi pembelian obligasi.
“Jadi bisa pilih obligasi korporasi dengan tenor 1 tahun karena likuiditasnya yang berlimpah, atau sekalian 10 tahun ke atas sering adanya prospek pertumbuhan ekonomi yang positif. Tapi, pada akhirnya dengan meningkatnya risiko, investor harus benar-benar selektif dan teliti melakukan riset,” tutup Fikri.
Selanjutnya: 10 Surat utang tercatat pekan ini, nilai emisi capai Rp 50,31 triliun dari awal tahun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News