Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) masih terpapar sentimen negatif. Harga CPO tercatat mengalami kenaikan 9,74% dalam sebulan terakhir menjadi MYR 4.257 per ton, meskipun mengalami penurunan 2,14% dalam sepekan terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa kinerja ekspor CPO dan turunannya menurun pada September 2024. Ekspor CPO dan turunannya tercatat sebesar US$ 1,38 miliar, turun 21,64% month-to-month (MtM) dan 24,75% year-on-year (YoY).
PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) menyatakan akan memanfaatkan momen kenaikan harga CPO untuk mendorong kinerja.
Baca Juga: Sampoerna Agro (SGRO) Fokus Replanting Sawit, Tengok Rekomendasi Sahamnya
"Dengan harga CPO yang telah mengalami kenaikan pada saat ini, kami melihat bahwa indikasi harga rata-rata CPO pada kuartal III 2024 akan lebih baik jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya," ujar Head of Investor Relation SGRO, Stefanus Darmagiri kepada KONTAN.
Sementara itu, PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) menyatakan bahwa pergerakan harga adalah variabel eksternal yang tidak dapat dikontrol.
Corporate Secretary TAPG, Joni Tjeng, menjelaskan bahwa strategi perseroan terfokus pada optimalisasi produksi dan infrastruktur.
"Target average selling price (ASP) TAPG berada di atas Rp 12.000 per kilogram sangat bergantung pada kondisi supply dan demand di kuartal IV 2024," ucapnya.
Baca Juga: Emiten Komoditas Dikepung Sentimen Negatif, Simak Prospek dan Rekomendasi Sahamnya
Joni juga mengingatkan adanya tantangan seperti larangan impor CPO di beberapa negara dan gangguan cuaca. "Produsen CPO mengalami tariff dan non-tariff barrier dari negara-negara konsumen, khususnya di wilayah Eropa," ucapnya.
Vinko Satrio Pekerti dari PT Kiwoom Sekuritas Indonesia mencatat penurunan ekspor CPO sebesar 24,75% YoY pada September 2024 mencerminkan berkurangnya permintaan global.
Ia menambahkan bahwa kenaikan harga CPO dapat berdampak positif pada margin pendapatan emiten, tetapi ada tantangan dari isu keberlanjutan dan larangan impor di negara-negara Uni Eropa.
Menurut Vinko, emiten yang mengandalkan pasar domestik dapat diuntungkan oleh kenaikan harga CPO. Program B35-B40 yang meningkatkan kebutuhan CPO untuk biodiesel juga menjadi potensi positif.
Di sisi produksi, meskipun memasuki musim panen, emiten harus menghadapi kemungkinan La Nina yang dapat mempengaruhi produksi. Vinko menyatakan, "Jika La Nina bersifat moderat, maka akan berdampak positif pada peningkatan produksi sawit."
Kinerja saham emiten CPO mencerminkan ekspektasi pasar terhadap sentimen harga CPO dan kebijakan pemerintah. Menurut data RTI, saham TAPG naik 70,64% year-to-date (YTD), SGRO naik 2,99% YTD, dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) meningkat 98,2% YTD. Namun, PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) mencatat penurunan masing-masing 3,6% YTD dan 3,56% YTD.
Baca Juga: Produksi TBS Astra Agro Lestari (AALI) Capai 2,1 Juta Ton hingga Juli 2024
Vinko menekankan pentingnya perhatian investor terhadap emiten yang siap menghadapi kebijakan pemerintah terkait biodiesel dan efisiensi biaya operasional. Ia merekomendasikan buy on weakness untuk TBLA dengan target harga Rp 700 – Rp 710 per saham.
Analis Ciptadana Sekuritas Asia, Yasmin Soulisa, memproyeksikan harga CPO global di tahun 2024 akan stabil di level MYR 4.100 per ton dan memperkirakan pertumbuhan pendapatan emiten sebesar 25,5% YoY. Tahun 2025, penggunaan biofuel diharapkan mendorong pertumbuhan konsumsi minyak sawit.
Yasmin merekomendasikan beli untuk AALI, DSNG, dan TAPG dengan target harga masing-masing Rp 7.600, Rp 1.290, dan Rp 1.030 per saham. "Pohon kelapa sawit muda mereka menjanjikan pertumbuhan hasil yang lebih cepat," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News