Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT SMR Utama Tbk (SMRU) memutuskan untuk menurunkan target volume produksi pengupasan lapisan tanah (overburden removal) batubara menjadi hanya di kisaran 20 juta bank cubic meter (bcm) tahun ini. Sebelumnya, emiten kontraktor jasa pertambangan batubara tersebut menargetkan volume produksi sebesar 34,2 juta sampai 36 juta bcm tahun ini.
“Namun, karena ada pandemi Covid-19, maka target volume produksi kami sesuaikan menjadi 20 jutaan bcm,” ujar Sekretaris Perusahaan SMR Utama Arief NovaldI kepada Kontan.co.id, Selasa (1/9).
Baca Juga: Pendapatan anjlok 55%, rugi bersih AirAsia Indonesia (CMPP) membengkak di semester I
Proyeksi ini lebih rendah dari capaian tahun lalu dimana volume produksi OB mencapai 27,3 juta bcm.
Mengutip paparan publik SMRU, manajemen memperkirakan permintaan batubara global akan turun sepanjang tahun 2020 yang mana dipengaruhi dari rendahnya permintaan di sektor pembangkit listrik.
Hal ini sebagai akibat dari kebijakan lockdown beberapa negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 sehingga menyebabkan penurunan pemakaian listrik sebagai akibat penutupan pabrik-pabrik. Penurunan permintaan batubara ini terutama berasal dari dua konsumen batubara utama dunia, yakni China dan India.
Menurut SMRU, berdasarkan research dari KPMG dalam buletin bulan Maret/ April 2020, dengan mengasumsikan inflasi 2,5%, maka harga batubara termal Newcastle diprediksi paling rendah berada di kisaran US$ 55 per ton dengan nilai tengah US$ 66 per ton.
Baca Juga: Simak jadwal pembagian dividen Duta Pertiwi Nusantara (DPNS)
Per semester pertama 2020, SMRU membukukan pendapatan senilai Rp 242,22 miliar, turun 35,6% secara tahunan. Dus, kerugian bersih SMRU membengkak menjadi Rp 123,17 miliar dari sebelumnya hanya Rp 76,31 miliar pada semester pertama 2019.
Sebanyak Rp 161,30 miliar 66,59% dari total pendapatan SMRU merupakan pendapatan dari PT Berau Coal Energy, sementara sisanya Rp 80,92 miliar atau 33,41% merupakan pendapatan dari PT Gunung Bara Utama. Arief menambahkan, sepanjang tahun berjalan ini, SMRU belum berhasil menggaet kontrak baru.
Untuk menangani dampak Covid-19, SMRU menyiapkan sejumlah strategi, salah satunya dengan melakukan efisiensi berupa pengurangan jumlah pekerja dan tidak menggelontorkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sejak Juni 2020. SMRU juga memaksimalkan availability per manpower dan mengupayakan efisiensi dalam biaya operasional (opex).
Baca Juga: Masih ada potensi cuan! Cek jadwal cum dividen 18 saham di awal September
Untuk diketahui, SMRU merupakan salah satu emiten yang terancam delisting dari Bursa Efek Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah saham SMRU telah disuspensi selama 6 bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 23 Januari 2022 mendatang.
Saat ini, saham SMRU mandek di level gocap (Rp 50). Adapun PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) merupakan pemegang saham mayoritas dengan mengempit 6,53 miliar lembar saham SMRU atau setara 52,30%. Kepemilikan publik di saham SMRU sebesar 39,59% atau 4,94 miliar lembar saham. Sementara sisanya yakni 1,01 miliar lembar saham (8,11%) dikempit oleh PT ASABRI (Persero).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News