Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi melemah dalam jangka pendek pasca keputusan The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan (overnight interest rate) sebesar 50 basis poin (bps).
Sebagai pengingat, IHSG menutup perdagangan sebelum libur Hari Raya Idul Fitri dengan menguat. Pada Kamis (18/4), IHSG parkir di level 7.288,91 atau naik 0,45% dari penutupan sebelumnya.
Vice President Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, mencermati pelaku pasar akan menunggu reaksi dari Bank Indonesia terhadap keputusan The Fed ini. Dengan begitu, dia memprediksikan IHSG mengawali perdagangan setelah libur panjang dengan melemah.
"IHSG bisa dibuka melemah karena menunggu reaksi dari BI karena kalau the Fed sudah menaikkan tingkat suku bunga 50 bps, ada ekspektasi bahwa BI akan menaikkan tingkat suku bunga 25 bps," jelas Wawan saat dihubungi Kontan, Jumat (6/5).
Baca Juga: IHSG Diramal Sentuh 7.750 Tahun Ini, Ini Daftar Saham Jagoan BRI Danareksa Sekuritas
Menurutnya, IHSG berpotensi terkoreksi dalam jangka pendek, terutama saham-saham perbankan. Namun, melihat pemulihan ekonomi dan pendapatan beberapa emiten perbankan di Kuartal I-2022 rata-rata bertumbuh 70% - 80% dapat menangkal tekanan dari keputusan The Fed ini.
Wawan menyebutkan berkaca pada kenaikan suku bunga AS dari 0,25% menjadi 2,5% sejak 2016, pasar saham terjadi koreksi jangka pendek karena kembali pada potensi profitabilitas emiten di Indonesia. Ditambah, saat ini sedang terjadi pemulihan pemulihan ekonomi.
"Pekan ini, IHSG bergerak dalam rentang 7.100 sampai 7.300. Tapi saya melihat 7.100 tidak akan tembus," imbuhnya.
Sementara, Analis fundamental B-Trade Raditya Pradana mengatakan dampak keputusan The Fed akan menyebabkan IHSG mengalami koreksi. Raditya memproyeksikan IHSG akan bergerak di area 7.100 - 7.150.
Baca Juga: Baru Melantai April Lalu, Saham Gojek Tokopedia (GOTO) Jadi Pemberat Utama IHSG
"Dengan kenaikan suku bunga oleh The Fed, kami menilai investor condong memilih USD sebagai instrumen investasi dibandingkan dengan instrumen investasi yang berisiko seperti saham dan crypto," jelas Raditya kepada Kontan, Sabtu (7/5).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News