Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pergerakan harga tembaga mulai menemui hambatan setelah tambang di Chili dan Papua mulai beroperasi. Kekhawatiran naiknya angka pasokan membebani laju harga dalam jangka pendek.
Mengutip Bloomberg, Kamis (30/3) pukul 15.31 waktu Shanghai, harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange tergerus 0,4% ke level US$ 5.882 per metrik ton dibanding sehari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir, tembaga menanjak 0,98%.
Andri Hardianto, analis PT Asia Tradepoint Futures mengatakan, koreksi harga tembaga seiring dengan penguatan dollar AS. Pelaku pasar kembali fokus pada peluang kenaikan suku bunga The Fed. Beberapa komentar pejabat The Fed bernada hawkish sehingga mengangkat nilai tukar dollar AS dan menekan laju tembaga.
Di samping itu, pasokan tembaga pada awal tahun masih mencatat peningkatan. Selama bulan Maret, stok tembaga global naik 167.000 ton menjadi 750.000 ton.
Dalam jangka pendek, Andri memperkirakan pergerakan harga tembaga rentan menemui rintangan. Sebelumnya, tembaga sempat didukung oleh aksi mogok pekerja tambang di Chili. "Tetapi pemogokan pekerja sudah selesai dan membuka kemungkinan produksi tembaga tambang Chili kembali naik," paparnya.
Pergerakan harga tembaga juga akan terhambat oleh naiknya pasokan dari Indonesia. Tambang tembaga Grasberg, Papua milik Freeport McMoran's telah kembali beroperasi setelah berhenti selama 38 hari.
Di sisi lain, tembaga bisa mengandalkan dukungan dari program infrastruktur pemerintah Amerika Serikat (AS) serta kenaikan permintaan dari China.
"Untuk jangka pendek, tren kenaikan harga tembaga belum cukup kuat. Tetapi apabila program infrastruktur AS lancar dan permintaan China terus meningkat, maka akan menjadi katalis positif bagi pergerakan jangka panjang," lanjut Andri.
Andri memperkirakan harga tembaga hingga akhir semester pertama tahun ini masih mampu menanjak ke kisaran US$ 6.000 - US$ 6.500 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News