kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tekanan pada NIM masih kuat, simak rekomendasi analis untuk sektor perbankan


Minggu, 29 Juli 2018 / 17:20 WIB
Tekanan pada NIM masih kuat, simak rekomendasi analis untuk sektor perbankan
ILUSTRASI. Logo Bank Indonesia (BI)


Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang agresif di paruh pertama tahun ini bagai buah simalakama bagi emiten sektor perbankan. Jika kenaikan bunga deposito tak beriringan dengan kenaikan bunga kredit, tekanan pada margin bank atau net interest margin (NIM) pun tak dapat terhindarkan.

Bank-bank berkapitalisasi jumbo tak luput dari risiko ini. Pada musim laporan keuangan semester-I 2018, sejumlah bank besar mengalami penurunan NIM. Di antaranya, Bank Mandiri (BMRI) yang marginnya turun dari 5,88% menjadi 5,7%, BCA (BBCA) turun dari 6,3% menjadi 6%, dan BNI (BBNI) turun dari 5,6% menjadi 5,4%.

Untungnya, ketiga bank besar tersebut masih mampu membukukan pertumbuhan laba. Dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, laba bersih BMRI tumbuh 28,7% menjadi Rp 12,2 triliun, sedangkan BBCA mencatat kenaikan laba 8,4% menjadi Rp 11,4 triliun. Sementara, laba bersih BBNI tumbuh 16% menjadi Rp 7,4 triliun. Adapun, BRI (BBRI) belum merilis laporan keuangannya hingga saat ini.

Melihat hal tersebut, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Taye Shim, memilih mempertahankan outlook konservatif alias netral untuk sektor perbankan untuk sepanjang sisa tahun ini.

Di satu sisi, dia yakin bank bakal berupaya memperkecil biaya dana (cost of fund) dengan meningkatkan rasio simpanan dana murah atau current account and saving account (CASA). Namun, di sisi lain, menurunya hasil pinjaman masih akan menekan margin sehingga bergerak datar di paruh kedua tahun ini.

"Hasil pinjaman telah mengalami tren penurunan sejak awal tahun, dimana kami mengaitkannya dengan persaingan yang ketat di tengah permintaan kredit yang melambat. NIM akan stabil namun bergerak datar sepanjang tiga bulan ke depan," papar Taye dalam risetnya, 26 Juli.

Senada, analis BCA Sekuritas Gilang Purnama juga tak menampik risiko pada sektor perbankan terkait NIM hingga akhir tahun seiring dengan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan. Namun, dia cukup optimistis pertumbuhan kredit dapat tetap tumbuh di ksiaran 9%-10% sepanjang tahun 2018 dan 2019.

"Meski kenaikan suku bunga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi, kami yakin permintaan kredit masih akan tumbuh lebih tinggi, terutama dari sektor privat maupun BUMN dengan kebutuhan modal kerja yang tinggi hingga akhir tahun," terang Gilang, dalam riset 23 Juli.

Berpandangan berbeda, Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital, melihat, tekanan pada NIM di semester kedua ini tidak akan begitu signifikan bagi kinerja bank-bank besar. Toh, dalam jangka pendek, perbankan justru bisa mengambil momentum keuntungan dari naiknya suku bunga kredit. Namun, dari segi volume kredit, bank mungkin akan mengalami perlambatan, menurutnya.

"Selama keduanya sama-sama naik (suku bunga kredit dan simpanan), harusnya tekanan ke NIM tidak begitu besar. Suku bungan acuan kita pun pernah mencapai 7%-8%, tapi volume kredit tetap bisa tumbuh di atas 20% saat itu," ujar Alfred, Jumat (27/7).

Alfred juga meyakini, kenaikan suku bunga kredit perbankan belum akan memengaruhi keputusan debitur, dalam hal ini perusahaan-perusahaan, untuk melakukan pinjaman. Hanya saja, tingkat kepercayaan pasar yang menurun akan lebih terasa di sektor riil.

Tengok saja, bulan Mei lalu, pertumbuhan kredit justru tumbuh lebih kencang yaitu 10,3% year-on-year (yoy). Taye melihat laju pertumbuhan ini lebih tinggi daripada ekspektasinya maupun tren secara historis.

Lonjakan permintaan kredit Mei lalu rupanya didorong oleh pinjaman korporasi yang naik 2,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Pinjaman korporasi naik seiring dengan berkurangnya ketertarikan investor pada pasar obligasi di tengah kenaikan suku bunga acuan dan pertumbuhan ekonomi domestik yang masih sesuai dengan ekspektasi.

Namun, Alfred secara terus terang menyebut bahwa kondisi pasar saat ini masih hanya akan berpihak pada saham-saham bank first-liner, yakni BMRI, BBCA, BBRI, dan BBNI. "Selama IHSG masih bergerak di bawah 6.000, lebih baik prioritaskan saham bank-bank itu," kata dia.

Alfred sendiri memilih menjagokan BMRI sebagai top-stock di sektor perbankan saat ini. Selain valuasinya yang terbilang murah, BMRI mengalami lompatan pertumbuhan laba bersih di kuartal-II 2018 yang lebih tinggi daripada peers-nya.

"BMRI juga mengalami perbaikan kualitas kredit, NPL turun sehingga pencadangan juga ikut turun dan karena itu laba bersih terdongkrak," ujar Alfred.

Untuk itu, Alfred memberi rekomendasi buy BMRI dengan target harga Rp 8.520 dan proyeksi price to book value (PBV) sebesar 2 kali. Proyeksinya, BMRI akan terus memangkas NPL nya hingga berada di bawah 3% pada akhir tahun nanti dan ini bakal berdampak ke kenaikan harga sahamnya.

Sementara, Taye menjadikan BBCA dan BBNI sebagai saham bank unggulannya. Dia memberi rekomendasi buy dan memasang target harga Rp 26.400 untuk saham BBCA, serta Rp 9.470 untuk saham BBNI.

Dengan menyematkan outlook netral pula untuk sektor perbankan hingga akhir tahun, Gilang memilih BMRI dan BBRI sebagai saham pilihan utama. "Kami melihat kedua emiten ini akan mampu mempertahankan pertumbuhan pendapatannya," ujar dia.

Gilang merekomendasikan beli saham BMRI dan BBRI dengan target harga masing-masing Rp 7.800 dan Rp 3.400 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×