Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Valuasi saham-saham sektor teknologi atau yang acap kali dikategorikan sebagai perusahaan new economy tidak bisa dihitung dengan indikator umum seperti PER, PBV, dan lain-lain. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki model bisnis yang berbeda-beda dan masih dalam tahap pengembangan.
Founder & CEO Emtrade Ellen May menjelaskan, untuk menilai fundamental saham-saham yang tergolong ke dalam growth company ini, pelaku pasar dapat memperhatikan seberapa besar ekosistem yang dimiliki perusahaan tersebut. Kemudian, investor juga dapat menilai visi dan arah inovasinya serta apa yang membedakannya dengan perusahaan serupa lainnya.
Ellen mengakui, dia saat ini masih memilih saham-saham teknologi untuk investasi jangka pendek hingga menengah saja dan jumlahnya tidak besar. Pasalnya, ia belum yakin apakah perusahaan teknologi yang ia investasikan akan bertahan dan terus berkembang, atau malah sebaliknya.
Baca Juga: IHSG Melemah ke 6.861 Pada Selasa (22/2), Asing Net Buy 15 Hari Beruntun
Menurut Ellen, perusahaan-perusahaan new economy di pasar modal Indonesia ini ibarat 'bayi yang mau lahir', mengingat gaung perusahaan teknologi di pasar modal baru kencang di tahun 2020-2022. Tidak seperti di Amerika Serikat yang mana perkembangannya sudah jauh lebih dulu
"Jadi, jangan terlalu berharap banyak untuk mengejar profit di sini. Kita harus sangat realistis. Apakah mimpi perusahaan teknologi ini akan terwujud atau nggak. Apakah akan jadi value company atau akan menjadi bubble yang naik lalu pecah," tutur Ellen dalam acara Kontan Webinar Menakar Ekonomi Digital dan Prospek Saham Teknologi di Pasar Modal Indonesia secara virtual. Selasa (22/2).
Research Director Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menjelaskan, ada konsepsi dalam ekonomi digital yang memberikan hipotesis bahwa perusahaan yang menjadi pemenang di ekonomi digital tidak akan banyak. Kemungkinan pada akhirnya akan hanya ada satu-dua perusahaan yang menguasai pasar.
Baca Juga: Mengukur Digitalisasi Bank, OJK Akan Gunakan Digital Maturity Assesment for Bank
Pasalnya, di era digital yang tidak terbatas ruang dan waktu, para perusahaan teknologi memiliki kesempatan untuk merambah seluruh wilayah. "Ketika suatu perusahaan sudah mendapatkan penerimaan pasar dengan segala kekuatan modalnya, maka perusahaan tersebut akan memenangkan semuanya, sedangkan yang tidak dapat bersaing berpotensi gulung tikar," ungkap Piter.
Lebih lanjut, perusahaan yang berpeluang memenangkan persaingan adalah yang bersinergi dengan perusahaan lain di bidang yang berbeda untuk membentuk ekosistem yang kuat.
Piter mencontohkan, saham PT Bank Jago Tbk (JAGO) naik pesat karena dianggap sebagai perintis awal yang membentuk ekosistemnya di persaingan bank digital. Perusahaan GoTo yang dikabarkan akan melaksanakan initial public offering (IPO) juga dinilai memiliki ekosistem yang kuat karena sudah berada di posisi yang cukup mapan di dalam persaingan.
Baca Juga: Harga Saham Bank Digital Mulai Melempem
GoTo memiliki dompet digital GoPay yang bersaing dengan Ovo, Gojek bersaing dengan Grab, dan e-commerce Tokopedia yang bersaing dengan Shopee. "Menurut saya, ekosistem GoTo lebih mapan. Jika tercatat, GoTo akan cenderung mengikuti pola pergerakan harga JAGO," ucap Piter.
Baru-baru ini, GoTo juga dikabarkan berkomitmen dengan perusahaan-perusahaan bonafide, yakni perusahaan motor listrik dari Taiwan Gogoro, Gesits Indonesia, serta Pertamina Patra Niaga untuk mengembangkan motor listrik dan baterai. Hal ini dinilai akan memperkuat ekosistem GoTo yang sudah ada saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News