Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di saat tingkat suku bunga semakin rendah, instrumen investasi berisiko tinggi seperti saham dan obligasi berpotensi menghasilkan imbal hasil yang lebih tinggi dari instrumen investasi lainnya.
Asal tahu saja, pada Kamis (18/2) Dewan Gubernur Bank Indonesia kembali memangkas BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) ke 3,5%. Tingkat suku bunga tersebut menjadi level yang paling rendah sepanjang sejarah BI.
Agustina Fitria, Financial Planner OneShildt mengatakan di tengah kondisi suku bunga rendah, investor dengan profil risiko agresif akan semakin percaya diri untuk masuk ke investasi saham.
"Sebelum suku bunga turun, investor agresif cenderung menahan diri masuk ke saham, tapi kalau suku bunga sudah turun mereka akan langsung switch dana investasinya ke saham," kata Agustina, Jumat (19/2).
Rasa percaya diri investor agresif muncul karena tren suku bunga rendah berpotensi membuat ekonomi bergerak lebih stabil dari kondisi penurunan.
Baca Juga: Ingin simpan dana di deposito pekan depan? Cek dulu bunga deposito terbaru di bank
Namun, bagi investor dengan profil risiko konservatif dan moderat, Agustina melihat investasi di obligasi bisa menjadi pilihan yang lebih menarik di saat imbal hasil di instrumen pasar uang tertekan akibat penurunan suku bunga.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana juga melihat instrumen investasi yang paling merasakan dampak positif dari suku bunga rendah adalah obligasi. Secara teori, penurunan suku bunga acuan akan membuat yield obligasi turun sehingga harga obligasi naik.
Wawan menilai, pasar obligasi saat ini semakin menarik karena suku bunga BI7DRRR sudah menurun, tetapi yield obligasi belum terefleksi turun. Penyebab yield masih belum turun karena yield US Treasury dalam tren naik.
Di satu sisi, Wawan melihat dengan yield obligasi yang masih tinggi di tengah suku bunga sudah turun, itu berarti harga obligasi saat ini sedang murah.
"Ketika ekonomi mulai pulih harga obligasi akan signifikan naik, karena saat ini suku bunga sudah turun, tetapi harga obligasi masih belum naik atau yield masih belum turun," kata Wawan.
Wawan memproyeksikan imbal hasil pasar obligasi sebesar 7%-7,5% di tahun ini. Bahkan, Wawan memproyeksikan suku bunga masih bisa turun satu kali lagi di tahun ini.
Sementara, untuk pasar saham, Wawan memproyeksikan instrumen ini juga akan diuntungkan ketika suku bunga bergerak turun. Hanya saja, pandemi Covid-19 yang belum mereda masih berpotensi menjadi pengganjal pertumbuhan kinerja di pasar saham.
Alhasil, Wawan mengatakan hanya sektor tertentu saja yang bisnisnya masih bisa berjalan lancar di tengah pandemi dan berpotensi makin diuntungkan ketika kondisi suku bunga rendah.
Dalam kondisi normal sebelum pandemi, sektor yang terkait suku bunga seperti perbankan, properti dan otomotif akan diuntungkan. Namun, permintaan properti dan otomotif saat pandemi masih menjadi tantangan. Begitupun dengan perbankan yang menyalurkan kredit.
Baca Juga: Bunga BI turun dan yield US Treasury naik menekan rupiah
Risiko kenaikan gagal bayar menjadi tinggi saat ekonomi tertekan karena pandemi.
"Sejatinya suku bunga rendah bisa membuat cost of fund emiten lebih murah, tetapi kembali lagi liat prospek bisnisnya di tengah pandemi masih bisa bertumbuh atau tidak," kata Wawan.
Sementara, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan investasi di dolar AS juga tetap menarik di tengah kondisi tren suku bunga rendah.
Namun, Ibrahim mengatakan faktor yang membuat dolar AS menguat tidak hanya dari suku bunga BI7DRRR yang turun, melainkan karena prospek dollar AS yang terdorong oleh sentimen eksternal.
Dalam jangka pendek Ibrahim memproyeksikan dolar AS memang masih berpotensi melemah. Namun, sewaktu-waktu jika terjadi gejolak geopolitik atau data ekonomi AS menguat, dolar AS berpotensi berikan keuntungan.
"Justru saat ini dolar AS sedang murah dan tepat untuk dikoleksi," kata Ibrahim.
Ia memproyeksikan indeks dolar AS berpotensi menurun level 88 jika AS gelontorkan stimulus. Jika kondisi tersebut terjadi, rupiah berpotensi menguat ke Rp 13.500 per dolar AS.
Namun, jika di tahun ini vaksin berjalan lancar dan data ekonomi AS membaik, maka dolar AS berpotensi menguat kembali atau rupiah Ibrahim memproyeksikan berada di Rp 15.000 per dolar AS.
Selanjutnya: Harga emas sedang konsolidasi, ini saran analis bagi para investor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News