Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah tak juga kunjung keluar dari tren negatif. Padahal pada 5 Juni rupiah sempat berada di Rp 13.878 per dolar Amerika Serikat (AS), namun pada Senin (21/7), rupiah sudah berada di Rp 14.785 per dolar AS atau melemah hingga 6,53%.
Analis Monex Investindo Futures Faisyal mengatakan pelemahan rupiah tersebut merupakan hal yang wajar karena sifat rupiah sebagai mata uang berisiko. Dengan kasus corona yang terus meningkat dan ketegangan AS - China, mata uang berisiko pasti akan dijauhi.
Baca Juga: Minim sentimen positif, rupiah diperkirakan melemah versus dolarAS, Selasa (21/7)
Faisyal menilai kondisi rupiah saat ini masih terbilang volatile. Hal ini terindikasi dari kasus virus corona di Indonesia yang masih terus melonjak, bahkan upaya Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan pun tidak memberi efek kejut pada pasar.
“Pergerakan pelemahan rupiah berpotensi masih berlanjut. Jangan dilupakan, ada sentimen terbaru dari ketegangan AS - China sudah mampu mengguncang harga rupiah. Belum lagi pemerintah sejauh ini belum ada progres signifikan dalam penanganan kasus corona dan stimulus ekonomi,” kata Faisyal ketika dihubungi Kontan.co.id, Senin (20/7).
Salah satu stimulus yang diperkirakan Faiysal akan memberi dampak adalah pemerintah memberikan bantuan ke golongan menengah ke bawah. Mengingat saat ini tingkat konsumsi dalam negeri anjlok. Sementara pembukaan pusat perbelanjaan dan kembali berjalannya pabrik tidak akan berdampak signifikan selama daya beli masyarakat masih rendah.
“Kelompok tersebut kan yang paling terdampak, oleh sebab itu bantuan langsung yang sifatnya bisa mendorong daya beli mereka tentu akan menjadi stimulus yang baik. Paling tidak, stimulus itu bisa memperkuat konsumsi dalam negeri,” tambah Faisyal.
Baca Juga: Rupiah ditutup melemah 0,56% ke Rp 14.785 per dolar AS pada hari ini (20/7)
Terkait keputusan penurunan suku bunga acuan, Faisyal menggarisbawahi minimnya dampak diakibatkan oleh tidak diiringi dengan penurunan suku bunga KPR dan KPA. Oleh karena itu, agar bisa memberi dampak maksimal, perlu adanya ketegasan dari pemerintah kepada para debitur untuk bisa saling membantu. Jika suku bunga KPR dan KPA diturunkan, tentunya bisa mendorong sedikit daya beli masyarakat.
Sementara analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengatakan rupiah berpotensi masih tertekan dengan adanya ancaman resesi. Hal ini disebabkan oleh PSBB DKI yang kembali diperpanjang. Hal ini juga terkait dengan proyeksi Bank Dunia mengenai prospek pertumbuhan Indonesia. World Bank memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%.
“Bahkan skenario lebih buruknya, ekonomi Indonesia bisa mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam. Sementara PDB kuartal III-2020 diperkirakan pada kisaran -1% sampai 1,2%, yang berarti bahwa ada risiko Indonesia mengalami resesi di kuartal III-2020 nanti, apalagi jika PSBB diperpanjang,” tambah Alwi.
Baca Juga: Rupiah di kurs tengah BI melemah ke Rp 14.832 per dolar AS pada hari ini (20/7)
Dengan kondisi ini, Alwi menilai selama belum ada vaksin virus corona yang aman diluncurkan, yang bisa membuat ekonomi bergeliat tanpa kekhawatiran virus, rupiah akan sulit untuk menguat. Terlebih dari eksternal, munculnya ketegangan baru antara AS-China juga akan menjadi fokus
Faisyal menyebut dalam jangka pendek ini, rupiah berpotensi bergerak pada rentang Rp 14.700 - Rp 15.000 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News