Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fluktuasi di pasar saham masih terus terjadi. Investor pun diminta untuk memasang strategi dalam menyusun portofolio agar tetap cuan di periode saat ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil rebound pada akhir perdagangan Jumat (19/9/2025). Mengutip data RTI, IHSG naik 0,53% atau 42,68 poin ke level 8.051,12.
Dalam sepekan, IHSG mampu naik 2,51%. IHSG juga naik 13,72% sejak awal tahun alias year to date (YTD).
Hari ini, aliran dana asing berhasil masuk Rp 1,41 triliun di pasar reguler dan Rp 2,87 triliun di seluruh pasar. Namun, net sell masih tercatat Rp 46,01 triliun YTD di pasar reguler dan Rp 61,59 triliun YTD di seluruh pasar.
Rupiah juga masih melemah hari ini. Jumat (19/9), rupiah berada di level Rp 16.601 per dolar Amerika Serikat (AS). Ini membuat rupiah turun 0,45% dibanding penutupan di hari sebelumnya yang berada di level Rp 16.527 per dolar AS.
Ini adalah kali pertama sejak 13 Mei 2025, rupiah kembali berada di atas Rp 16.600 per dolar AS. Dalam sepekan, rupiah spot turun 1,38%.
Baca Juga: IHSG Menguat 2,51% dalam Sepekan, Ini Sentimen yang Menopangnya
Rupiah JISDOR Bank Indonesia (BI) hari ini juga tertekan ke Rp 16.578 per dolar AS, turun 0,48% dari Rp 16.498 per dolar AS pada penutupan tanggal 18 September. Dalam sepekan, rupiah JISDOR turun 1,14%.
Fluktuasi pasar ini terjadi di tengah penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) dan The Fed. BI memutuskan menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) sebesar 25 basis points (bps) menjadi 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 16-17 September 2025.
Sementara, Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 4%-4,25% pada Rabu (17/9/2025).
The Fed juga melemparkan sinyal akan terus menurunkan bunga pinjaman untuk sisa tahun ini, karena para pembuat kebijakan menanggapi kekhawatiran tentang pelemahan di pasar tenaga kerja AS.
Pengamat Pasar Modal, Rita Efendy bilang, dengan tren penurunan suku bunga BI dan The Fed, cost of capital turun dan ini biasanya mendukung aset berisiko.
Namun, karena volatilitas pasar masih tinggi lantaran capital outflow asing dan tekanan fundamental domestik, investor moderat sebaiknya tetap menjaga keseimbangan portofolio.
“Porsi saham bisa mulai dinaikkan bertahap, tapi obligasi berkualitas dan instrumen pasar uang tetap dipertahankan sebagai penjaga risiko,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (19/9).
Di era suku bunga rendah, setidaknya ada empat industri yang akan diuntungkan.
Pertama, sektor perbankan dan finansial karena biaya dana lebih rendah, potensi net interest margin (NIM) terjaga jika kredit tumbuh.
Baca Juga: Rupiah Anjlok ke Rp 16.601 pada Hari Ini (19/9), Simak Pergerakannya di Pekan Ini
Kedua, sektor properti dan infrastruktur karena lebih sensitif terhadap penurunan bunga, sehingga kredit pemilikan rumah (KPR) lebih murah. Ketiga, sektor konsumsi dan ritel karena daya beli masyarakat terdorong oleh bunga rendah.
Terakhir, sektor teknologi dan ekonomi digital. “Sektor ini tumbuh dan biasanya pulih lebih cepat saat likuiditas longgar,” katanya.
Dengan sentimen tersebut, investor pun bisa mulai memasang strategi dalam menyusun portofolionya.
Untuk investor moderat, kata Rita, ini saatnya mulai melakukan rebalancing secara bertahap dari instrumen berbasis bunga ke saham, jangan dilakukan secara sekaligus.
Alokasi rata-rata ideal untuk 12 bulan adalah dengan menempatkan dana sebesar 40-50% di saham, 30-40% di obligasi, dan 15-25% di pasar uang.
Di pasar modal yaitu saham & obligasi, imbal hasilnya bisa 8%–12% untuk investor moderat, tergantung makro ekonomi indonesia dan kondisi global.
“Saat ini, saham dan obligasi relatif lebih menarik dengan kondisi suku bunga yang mulai menurun,” ujarnya.
Investor moderat yang ingin diversifikasi otomatis juga bisa memilih reksadana campuran. Alasannya, reksadana campuran atau saham dikelola manajer investasi profesional.
Baca Juga: Rupiah Ditutup Anjlok ke Rp 16.601 Per Dolar AS Hari Ini, Terlemah Sejak Mei 2025
Sementara, di pasar saham, investor bisa memilih emiten defensif serta siklikal dan bertumbuh.
Untuk emiten blue-chip defensif, ada BBRI, TLKM, dan UNVR yang bisa dilirik. “Saham blue chip tetap jadi pilihan menarik investor jika panjang karena stabil saat volatilitas tinggi dan dividen yang menarik,” ungkapnya.
Untuk emiten siklikal dan bertumbuh, bisa dilirik dari sektor konstruksi, properti, teknologi, dan energi terbarukan. “Sekto ini mulai menarik pasca pemangkasan bunga. Tapi, porsinya jangan dominan, cukup 20–30% dari porsi portofolio saham,” katanya.
Rita mengingatkan, investor juga harus mulai memerhatikan mitigasi risiko agar portofolio mereka tidak terdampak negatif dari fluktuasi pasar.
Yaitu, melakukan diversifikasi aset dan sektor pilihan, menggunakan instrumen hedging seperti emas atau reksadana pasar uang, dan tetap memegang pegang cash buffer agar fleksibel masuk saat koreksi.
“Serta, memilih obligasi pemerintah atau korporasi investment grade untuk mengurangi risiko gagal bayar,” paparnya.
Selanjutnya: 4 Poin Kesepakatan SPBU Swasta dengan Pertamina untuk Pasok Kekurangan BBM
Menarik Dibaca: ASTER di Puncak Top Gainers dalam 24 Jam, MYX Terpental ke Top Loser
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













