Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) akan mencari pinjaman di tahun depan. Emiten perkebunan ini berharap menggaet pinjaman senilai antara Rp 390 miliar-Rp 650 miliar. Dana tersebut untuk menutupi sekitar 65% anggaran belanja modal alias capital expenditure (capex) tahun depan yang diperkirakan mencapai Rp 600 miliar-Rp 1 triliun.
Michael Kusuma, Kepala Hubungan Investor SGRO, menyatakan, sejatinya capex tahun depan tak jauh berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya. Manajemen SGRO menilai, jumlah tersebut sudah ideal agar konsisten melanjutkan penanaman baru, baik kelapa sawit, karet maupun sagu.
Namun, SGRO tidak bisa menutupi seluruh anggaran capex dari kas internal. Per 30 September 2014, kas dan setara kas SGRO tercatat Rp 121,99 miliar. "Jika kondisinya bagus, porsi pinjaman capex tahun depan sekitar 65%. Ruang mencari pinjaman tersebut terbuka lebar karena gearing ratio kami masih sekitar 0,5 kali," ungkap Michael kepada KONTAN, pekan lalu.
Anggaran capex tahun depan bakal digunakan SGRO penanaman baru. Rencana penanaman baru tersebut diperkirakan tidak jauh berbeda dengan tahun ini. Misalnya, akan kembali menambah lahan tertanam baru kelapa sawit seluas 5.000-10.000 hektare (ha). Hingga 30 September 2014, luas tertanam kelapa sawit SGRO tercatat 124.521 ha.
Sejumlah 101.918 ha dari luas tersebut merupakan lahan menghasilkan. Sementara sisanya yang seluas 22.603 ha masih berstatus lahan belum menghasilkan. Untuk menanam baru kelapa sawit, SGRO mesti mengeluarkan investasi antara Rp 60 juta-Rp 65 juta per ha. Biaya ini sudah termasuk perawatan tanaman kelapa sawit selama empat tahun pertama.
Pertumbuhan melambat
Meski begitu Michael memperkirakan, pertumbuhan produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) tahun depan bakal melambat. Tahun ini, target pertumbuhan produksi CPO SGRO antara 15%-20% dibandingkan tahun 2013. "Kami memperkirakan akan lebih rendah, tapi proyeksi pastinya masih kami hitung," terang Michael.
SGRO juga akan menanam baru lahan karet seluas 2.000-3.000 ha dan sagu 1.000-2.000 ha. SGRO memang sudah memiliki izin membuka lahan perkebunan sagu seluas 21.000 ha di Selat Panjang, Kepulauan Meranti, Riau.
Sementara kepemilikan lahan perkebunan karet SGRO ditopang dua anak usahanya yakni PT Sungai Menang dan PT Pertiwi Lenggara Agromas. Dua unit usaha ini sudah berhasil mengakuisisi 100% saham PT Hutan Ketapang Industri senilai US$ 7,8 juta dari PT Kertas Basuki Rachmat Indonesia Tbk dan PT Nusa Bhakti Jayaraya. Setelah akuisisi, luas perkebunan karet yang milik SGRO mencapai 102.000 ha.
Hingga September 2014, SGRO berhasil memproduksi 1,17 juta ton tandan buah segar (TBS), angka tersebut naik 45,5% secara year on year (yoy). SGRO juga berhasil memproduksi CPO 245.600 ton atau naik 54,6%. Namun SGRO hanya berhasil menjual 242.400 ton CPO pada periode yang sama. Jika dibandingkan sembilan bulan di tahun 2013 penjualan CPO SGRO masih naik 33,8% dari 181.200 ton.
Tak hanya itu, harga jual CPO SGRO naik 30,2% menjadi Rp 8.522 per kilogram (kg). Karena itu pendapatan SGRO berhasil meningkat 72,1% menjadi Rp 2,48 triliun dengan laba bersih 913% jadi Rp 310,8 miliar.
Sementara itu hingga akhir tahun, Andy Wibowo Gunawan, Analis Sucorinvest Central Gani, mengatakan, pendapatan SGRO akan naik menjadi Rp 3,07 triliun dan kembali naik jadi Rp 4,07 triliun di 2015. Tapi dia memproyeksikan laba bersih SGRO turun menjadi Rp 217 miliar di akhir tahun ini dan naik menjadi Rp 348 miliar di tahun 2015. Pada penutupan bursa, Jumat (19/12), harga SGRO naik 1,94% menjadi Rp 2.105 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News