kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Sepanjang 2021, Imbal Hasil SUN Tenor Panjang Naik Paling Tinggi


Senin, 10 Januari 2022 / 05:45 WIB
Sepanjang 2021, Imbal Hasil SUN Tenor Panjang Naik Paling Tinggi


Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang tahun lalu, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) bergerak menguat. Namun, imbal hasil SUN tenor panjang masih membukukan kenaikan imbal hasil. 

Return ICBI secara tahun berjalan tercatat sebesar +5,91% dari level 314,2467 menjadi 332,8078. Angka tersebut menurun dibanding  akhir tahun 2020 yang mencatatkan return hingga +14,49%. 

Secara spesifik, di tahun 2021 kinerja obligasi pemerintah yang tercermin dari INDOBeXG-Total Return mencatatkan return tahun berjalan sebesar +5,52% dari level 309,0529 ke level 326,1186. 

Baca Juga: Pemerintah Perpanjang Insentif PPh DTP Bunga SBN untuk Jenis SBN Ini

Sementara kinerja obligasi korporasi atau INDOBeXC-Total Return menghasilkan return tahun berjalan sebesar +10,48% dari 333,0763 menjadi 367,9748. 

Di tahun 2021, ketiga indeks return tersebut masing-masing berhasil mencapai  rekor tertingginya yakni di tanggal 30 Desember. Sedangkan pasar saham di tahun 2021 mencatatkan positif return sebesar +10,08%. Pada akhir tahun 2021, IHSG ditutup di level 6.581,48 dari sebelumnya di level 5.979,07 pada akhir tahun 2020. 

Analis PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) dalam rilis Jumat (7/1) menjelaskan, pola imbal hasil alias yield obligasi pemerintah membentuk pola bear steepener yakni kondisi dimana kelompok tenor panjang mengalami kenaikan rata-rata yield paling besar. 

Rata-rata kenaikan yield kelompok tenor panjang yakni tenor lebih dari 7 tahun sebesar +24,08bps. Sementara tenor menengah yakni 5-7 tahun mencatatkan kenaikan rata-rata yield sebesar +11,24bps, sementara tenor pendek atau tenor kurang dari 5 tahun turun sebesar -20,20bps.

Baca Juga: Pekan Pertama Tahun 2022, Capital Outflow Capai Rp 1,68 Triliun

PHEI dalam rilis akhir tahun juga menjelaskan jika yield Surat Utang Negara (SUN) seri benchmark tahun 2021 bergerak variatif. Di tahun 2021, penurunan yield dicatatkan oleh seri SUN benchmark tenor 5 tahun atau FR0086 (TTM 4,29 tahun) sebesar -8,78bps dari level 5,1488% menjadi 5,0611%. 

Penurunan yield juga terjadi pada pada seri FR0088 (TTM 14,47 tahun) atau SUN benchmark tenor 15 tahun turun sebesar -4,67bps dari 6,2699% menjadi 6,2231%. 
Sedangkan kenaikan yield dicatatkan SUN benchmark tenor 10 tahun yakni seri FR0087 (TTM 9,13 tahun) sebesar +49,95bps ke level 6,3538% dari 5,8543% dan FR0083 (TTM 18,30 tahun) atau SUN acuan tenor 20 tahun juga naik +53,11bps ke level 7,0450% dari 6,5138%. 

Sejalan dengan pergerakan yield, harga kelompok SUN seri benchmark juga bervariatif. Harga SUN seri FR0086 naik sebesar +6,57bps dari level 101,6000% ke level 101,6657%, FR0087 turun -388,10bps dari 104,8725% ke 100,9915%. Seri FR0088 mengalami kenaikan harga +45,00bps dari 99,8000% ke 100.2500%. Namun, pada seri FR0083 turun -610,58bps dari 110,7286% ke 104,62%.

Baca Juga: Tumbuh Lebih Dari 90% Sepanjang 2021, Kini Investor Pasar Modal Capai 7,49 juta

Pasar obligasi Indonesia menunjukkan performa positif di tahun 2021 meskipun tidak setinggi tahun  sebelumnya. Ini karena kasus lonjakan kedua Covid-19 yang terjadi secara global dan terjadi juga di dalam negeri akibat  munculnya varian Delta. 

Sejatinya, menurut analis PHEI sentimen AS memiliki peran paling dominan yang membayangi pergerakan pasar  obligasi di sepanjang tahun 2021. Meskipun sempat mengalami pelemahan pada kuartal I-2021 akibat kenaikan yield US-Treasury tenor 10 tahun yang sempat menyentuh ke level 1,74% atau tertinggi sejak Januari 2020. 

Namun, ICBI berhasil menguat pada tiga kuartal berikutnya meskipun terbatas.  Penopang penguatan pasar di sepanjang tahun 2021 banyak berasal dari dalam negeri. Keberhasilan pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 domestik dengan dosis penuh menjadi katalis positif di  sepanjang tahun 2021. 

Baca Juga: Simak Potensi Pasar SBN Saat Tax Amnesty Jilid II Diberlakukan

Faktor lain yang menopang kinerja obligasi adalah fundamental dalam negeri seperti tren surplus neraca perdagangan Indonesia. Tak hanya itu, posisi cadangan devisa yang  berada dalam tren meningkat, serta dipertahankannya peringkat utang Indonesia pada level  Baa2 (stable) oleh Moody’s, BBB (stable) oleh Fitch Ratings, dan di level BBB (negative) oleh S&P juga  turut menjadi penopang penguatan pasar. 

Di tahun 2021, beragam stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk pembiayaan  untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), serta kerjasama Kemenkeu dengan Bank  Indonesia melalui skema burden sharing juga terus berlanjut. Tak hanya itu, kebijakan moneter yang akomodatif,  beragam stimulus fiskal, maupun langkah kerjasama yang dilakukan untuk mendorong pulihnya roda  perekonomian Indonesia berhasil menjadi katalis positif pasar obligasi Indonesia di tahun 2021. 

Laju penguatan yang mewarnai pasar oligasi mulai melambat pasca The Fed mengumumkan membuka peluang pengetatan kebijakan moneternya jika ekonomi di AS berlanjut membaik. Usai pengumuman tersebut, pergerakan pasar obligasi cenderung dibayangi spekulasi tapering The Fed yang  dipercepat. 
Performa pasar obligasi semakin tertahan setelah tingkat inflasi di AS pada November terus melonjak naik hingga ke level 6,8%yoy atau tertinggi dalam 39 tahun. Sementara itu, angka pengangguran  di AS juga terus menurun. 

Baca Juga: Cari Alternatif Pendanaan agar Hemat Bunga Utang

Kondisi tersebut menurut analis IBPA telah meningkatkan ekspektasi The Fed yang akan mempercepat  proses pengetatan kebijakan moneternya. Ekspektasi tersebut terbukti ketika pada FOMC meeting, The Fed memutuskan untuk meningkatkan nominal pengurangan  pembelian obligasi menjadi US$ 30 miliar per bulan dari US$ 15 miliar per bulan. 

Sehingga menurut analis IBPA, proses tapering akan selesai pada akhir kuartal I-2022 dan The Fed diproyeksikan akan  menaikkan suku bunga acuannya sebanyak tiga kali pasca berakhirnya proses tapering. 

Selain issue percepatan normalisasi kebijakan moneter The Fed. Faktor global lain yang turut menekan performa  pasar obligasi cukup besar di tahun ini adalah terjadinya krisis utang perusahaan properti raksasa milik China Evergrande yang memiliki risiko sistemik. 

Baca Juga: Likuiditas Masih tinggi, Jumlah Penawaran pada Lelang SUN Selasa (4/1) Cukup Tinggi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×