Reporter: Namira Daufina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Sajian data manufaktur China yang memuaskan pasar jadi pemicu terdongkraknya harga tembaga. Reli harga dalam dua hari terakhir ini pun terhitung signifikan setelah harga turun dalam delapan hari beruntun.
Mengutip Bloomberg, Kamis (1/9) pukul 14.16 WIB harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange melambung 0,60% di level US$ 4.894 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Bahkan dalam sepekan terakhir harga tembaga berhasil terbang 5,65%.
Ibrahim, Direktur PT Garuda Berjangka menuturkan dukungan utama jelas datang dari sajian data manufaktur China yang menjadi indikasi kuat harapan kenaikan permintaan tembaga di masa datang.
Data manufaktur PMI China Agustus 2016 dirilis tumbuh ke level progresifnya yakni 50,4 dari sebelumnya hanya 49,9. “Jelas ini angin segar bagi harga komoditas termasuk tembaga, penguatan pun tidak terbendung,” ujar Ibrahim.
Apalagi di saat yang bersamaan, keunggulan USD sedang rehat sejenak. Sebab kini pelaku pasar tengah mewaspadai rilis data klaim pengangguran mingguan AS yang akan disusul oleh data sektor tenaga kerja di akhir pekan nanti.
Antisipasi pelaku pasar ini membuat penguatan USD sedikit mengendur dan bisa dimanfaatkan oleh harga komoditas untuk menyesuaikan posisi. Katalis positif lainnya yang turut beri suntikan tenaga bagi harga tembaga datang dari kisruh tambang di Chili, salah satu produsen utama tembaga dunia.
Codelco, salah satu perusahaan tambang terbesar di Chili menutup aktivitas tambang Chuquicamata Selasa (30/8) lalu. Penutupan tambang ini dilakukan setelah terjadi kecelakaan kerja yang kemudian menewaskan dua pekerjanya. Di tempat lain, kecelakaan juga terjadi di tambang milik Freeport-McMoran Inc yang juga bertempat di Chili.
Sementara perkara upah tenaga kerja tambang juga masih membayangi aktivitas pertambangan tembaga di Chili. Serikat pekerja tambang di sana hingga Rabu (31/8) masih mempertimbangkan untuk menerima kesepakatan pembayaran upah yang terhitung kecil atau kembali melakukan demo.
“Selama keadaan di Chili belum kondusif, pasar khawatir produksi dan distribusi akan terganggu maka harga terdorong naik,” imbuh Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News