Reporter: Aloysius Brama | Editor: Tendi Mahadi
Meski begitu, Sigit menyanggah bahwa pemberhentian operasional pabrik yang disebutkan ASI disebabkan oleh konsumsi semen yang menurun. Ia berdalih, justru penurunan permintaan itu dimanfaatkan oleh SMGR untuk melakukan maintenance shutdown. “Maintenance ini rutin dilakukan setiap tahun, agar fasilitas produksi mampu beroperasi dengan optimal,” akunya.
Sigit optimis konsumsi semen di semester dua akan kembali normal seiring dengan kondisi dalam negeri yang kondusif. Hal itu setidaknya sudah tampak dari penjualan SMGR di bulan Juni lalu.
Pada periode itu SMGR membukukan penjualan sebesar 1,43 juta ton. Angka itu naik double digit secara year on year (yoy), tepatnya sebesar 11,5%. Sebagai informasi, di bulan Juni 2018, penjualan semen SMGR sendiri mencapai 1,28 juta ton.
Sigit menyebut, SMGR masih akan fokus untuk menjaga target penjualan sesuai dengan pertumbuhan konsumsi semen nasional sehingga market share tetap terjaga. Salah satunya dengan terus fokus menyinergikan seluruh fasilitas produksi dan distribusi pasca akuisisi SMCB ke dalam Semen Indonesia Group.
“Dalam sisi produksi, optimalisasi dilakukan dengan menyesuaikan utilisasi pabrik yang dimiliki oleh Perseroan,” terang Sigit singkat.
Khusus untuk SMCB, selain mengandalkan penjualan semen, mereka juga mulai memutar otak untuk tidak merugi pada tahun ini. Salah satunya adalah dengan menjual maupun menyewakan beberapa asetnya.
Per 1 Juli lalu SMCB telah berhasil menyewakan sebidang tanah seluas 65.000 meter persegi yang terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. SMCB menyewakan tanahnya selama sepuluh tahun dengan nilai sewa mencapai Rp 57,03 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News