Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
Seperti telah dimuat dalam pemberitaan Kontan.co.id sebelumnya, maskapai pelat merah ini tercatat memiliki utang yang jatuh tempo per Mei 2021 sebesar Rp 70 triliun atau US$ 4,9 miliar dari Rp 140 triliun total utangnya. Sebagai utang itu merupakan pinjaman ke pihak perbankan.
Baca Juga: Kementerian BUMN: Penyelesaian kredit Garuda bisa pakai skema debt to equity swap
Berdasarkan laporan keuangan Garuda per September 2020, pinjaman jangka pendeknya ke perbankan mencapai US$ US$ 754,3 juta. Sedangkan pinjaman jangka panjang tercatat sebesar US$ 260,95 juta di mana US$ 92,6 juta di antaranya jatuh tempo dalam waktu setahun.
Pinjaman jangka pendek itu berasal sejumlah bank mengacu pada data September 2020. Di antaranya berasal dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), Bank Mandiri, Bank Permata, Bank Panin, ICBC, Bank of China Limited, Bank CTBC Bank KEB Hana Indonesia, HSBC dan BCA.
Sedangkan pinjaman jangka panjang berasal dari BRI, BNI, Indonesia Infrastructure Finance (IIF), Bank Maybank Indonesia, dan BCA.
Menurut Alfred, upaya restrukturisasi oleh kreditur perusahaan-perusahaan pelat merah bisa mendorong kreditur non BUMN untuk melakukan langkah serupa.
“Ketika misalnya Garuda punya utang ke BUMN dan itu diswap menjadi ekuitas. artinya nanti kreditur non pemerintah melihat bahwa pemerintah berkorban pemerintah serius, dalam hal ini para kreditur non pelat merah jadi berpikir, ketimbang kreditnya macet, atau ktetimbang mereka tempuh opsi untk pkpub dan sebagainya, lebih baik ambil opsi ini (restrukturisasi) kan masih ada peluang karena bicaranya pemerintah yang turun,” terang Alfred.