Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Euforia penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligent (AI) membuat saham-saham teknologi di Amerika Serikat (AS) makin menjadi primadona di kalangan pelaku pasar. Investor ritel Indonesia pun punya peluang mendapatkan cuan dari euforia saham-saham teknologi dari Paman Sam.
Sebagai informasi, AS memiliki beberapa saham teknologi raksasa yang dijuluki Magnificent 7. Di antaranya adalah Apple Inc. (AAPL), Microsoft Corp (MSFT), Alphabet Inc. (GOOGL), Amazon.com Inc. (AMZN), Nvidia Corp. (NVDA), Meta Platform Inc. (META), dan Tesla Inc. (TSLA).
Bahkan, belum lama ini Nvidia menjadi perusahaan paling bernilai di dunia dengan valuasi mencapai US$ 5 triliun.
Euforia saham teknologi di AS masih akan berlanjut seiring rencana OpenAI, induk platform ChatGPT, untuk IPO dalam beberapa waktu mendatang dengan valuasi sekitar US$ 1 triliun.
Baca Juga: Ketegangan Dagang AS-China dan Tekanan Saham Bank Seret Wall Street ke Zona Merah
Co-Founder Pasardana Hans Kwee mengatakan, meski pamor saham teknologi AS sedang melambung, valuasi mereka terbilang sangat mahal untuk saat ini.
Terlepas dari itu, sebagian investor kemungkinan bisa menoleransi faktor tersebut, mengingat mereka berinvestasi untuk membeli prospek pada masa depan berupa pertumbuhan bisnis. Namun, perlu diingat juga, investor mesti berkaca pada sejarah ketika fenomena bubble dot-com terjadi pada 1990-an silam. Bubble dot-com akhirnya pecah pada awal 2000-an ketika emiten-emiten teknologi AS gagal menghasilkan keuntungan.
"Tetap ada risiko bila perusahaan tersebut tidak berhasil mencapai target pertumbuhan yang diharapkan investor," ujar dia, Jumat (31/10/2025).
Lantaran di Indonesia tidak ada emiten teknologi yang benar-benar besar maupun yang memiliki inovasi secanggih raksasa teknologi di AS, maka tidak ada salahnya bagi investor untuk menjajal peruntungan dengan berinvestasi secara langsung di saham teknologi AS. Sebab, investor akan diuntungkan oleh likuiditas tinggi pada saham-saham teknologi AS, meski valuasinya sudah terlampaui mahal.
"Tapi investor harus pakai uang dingin, karena kalau koreksi siap-siap rugi besar," imbuh Hans.
Senada, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menilai, saham-saham teknologi AS menawarkan likuiditas tinggi, bahkan lebih likuid dibandingkan saham-saham yang ada di Indonesia. Ketika masuk ke saham teknologi AS, investor ritel Indonesia juga bisa belajar banyak mengenai tata kelola pasar modal AS yang sudah sangat maju, di mana investor internasional juga sangat dilindungi.
"Mitigasi risiko tetap perlu diperhatikan oleh investor yang masuk ke pasar saham AS," tutur Nafan, Jumat (31/10/2025).
Baca Juga: Konflik AS-China Meruncing, Bakal Berefek ke Pasar Saham Indonesia?
Bila investor belum memiliki pemahaman yang cukup terhadap saham-saham teknologi AS, Nafan menyebut saham-saham teknologi Indonesia juga punya potensi menjanjikan. Hal ini didukung oleh kinerja indeks saham teknologi atau IDX Technology yang tumbuh 143,64% year to date (ytd) ke level 9.869,21 hingga Jumat (31/10) atau jauh melebihi kinerja indeks sektoral lainnya maupun IHSG.
Memang, karakteristik saham teknologi Indonesia dan AS berbeda. Sektor teknologi di Indonesia erat kaitannya dengan bidang e-commerce maupun industri pendukungnya, yang mana kinerjanya turut bergantung pada stabilitas ekonomi nasional yang ditopang oleh konsumsi domestik.
"Ekosistem e-commerce di Indonesia akan tetap sustain selama operasionalnya efisien," pungkas dia.
Selanjutnya: NJIS Perkuat Komitmen Terhadap Kualitas Pembelajaran yang Aman dan Positif
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (1/11), Provinsi Ini Diguyur Hujan Sangat Lebat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


/2023/05/02/1876425270.jpg) 
 











