Reporter: Nur Qolbi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas saham produsen rokok turun lebih dari 5% pada perdagangan Selasa (20/10). Kemudian pada perdagangan sesi I, Rabu (21/10) sebagian besar saham perusahaan rokok masih berada di zona merah.
Kemarin, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencatatkan penurunan terdalam, yakni sebesar 5,86% ke level Rp 40.550 per saham. Pada sesi I hari Rabu saham GGRM masih turun tipis 0,25%.
Demikian juga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang terkoreksi 5,67% menjadi Rp 1.415 per saham kemarin. Hari ini, saham HMSP juga masih turun tipis 0,71%.
Saham PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) -5,21% ke level Rp 364 per saham kemarin, tapi pada sesi I hari ini naik 1,10%. Sementara saham PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA) stagnan di posisi Rp 370 per saham dan pada sesi I hari ini turun 2,16%.
Baca Juga: Kenaikan cukai rokok masih belum jelas, saham GGRM, HMSP, WIIM masih dijagokan
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya menilai, penurunan ini disebabkan oleh pemulihan ekonomi yang berjalan lambat.
"Pasalnya, meski pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta telah kembali ke masa PSBB transisi, pemulihan volume penjualan rokok masih didorong oleh mayoritas perokok yang membeli rokok per batang," ucap Christine dalam risetnya, Selasa (20/10).
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga tengah memperhitungkan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang akan ditetapkan pada 1 November 2020. Biasanya, upah minimum dihitung berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.
Akan tetapi, berdasarkan kabar yang beredar, upah minimum tahun depan hanya akan ditentukan berdasarkan inflasi yang berkisar antara 1,5%-2%, mengingat banyaknya usaha yang tengah berjuang menghadapi kelesuan ekonomi. Padahal, serikat pekerja menuntut kenaikan upah minimun sebesar 8% untuk tahun depan.
Baca Juga: Saham-saham yang banyak dilepas asing saat IHSG turun Selasa (20/10)
"Kami yakin ini menciptakan ketidakpastian bagi perusahaan rokok karena pemulihan daya beli akan berjalan lebih lambat lagi seiring rendahnya upah minimum. Ditambah lagi, pemerintah berencana menaikkan tarif cukai untuk tahun depan," tutur Christine.
Di samping itu, sektor rokok juga mendapat sentimen negatif dari adanya saran World Health Organization (WHO) kepada pemerintah Indonesia untuk menaikkan tarif cukai 25% tiap tahunnya. Besaran tersebut tergolong tinggi jika melihat historikal kenaikan cukai di Indonesia.
"Kami meyakini kombinasi faktor-faktor tersebut telah memicu ketidakpastian prospek perusahaan rokok. Belum lagi pengumuman Keputusan Menteri Keuangan (PMK) tertunda karena situasi Covid-19," ucap Christine. Oleh karena itu, ia mempertahankan sikap netral untuk sektor tembakau.
Selanjutnya: Penjualan Indonesian Tobacco (ITIC) melesat 48,86% yoy hingga September
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News