Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Valuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) tertekan di pengujung pekan lalu. Di tengah minimnya katalis dari dalam negeri, mata uang Garuda banyak mendapatkan sentimen negatif dari perbaikan ekonomi di negeri Paman Sam. Bahkan rupiah jatuh ke level terendah baru sejak Januari 2016.
Mengacu kurs tengah Bank Indonesia, pada penutupan perdagangan Jumat (20/4) rupiah ditutup terkoreksi 0,19% dibandingkan hari sebelumnya ke level Rp 13.804 per dollar AS. Sedangkan mengacu pasar spot, pada saat yang sama mata uang Garuda melemah lebih dalam hingga 0,78% dibandingkan hari sebelumnya ke level Rp 13.893 per dollar AS.
Pelemahan di pasar spot terus berlanjut hingga sesi perdagangan AS. Meski seperti dikutip dari RTI rupiah ditutup melemah 0,43% ke level Rp 13.863 per dollar AS, tetapi menjelang rampungnya perdagangan di negeri Paman Sam pergerakannya sempat menyentuh level Rp 13.946 per dollar AS.
“Penyebabnya sentimen dari global khususnya AS,” ujar Andry Asmoro, PT Bank Mandiri Tbk kepada Kontan.co.id, Minggu (22/4).
Ia lebih melihat kejatuhan rupiah terjadi karena ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed yang lebih cepat dari perkiraan. Hal itu mendorong cukup banyak dana asing yang keluar dan kembali ke negeri Paman Sam.
Secara fundamental menurutnya kondisi ekonomi Indonesia cukup stabil. Pertumbuhan ekonomi, inflasi dan rasio utang sejauh ini masih cukup terjaga. Kata Andry saat ini satu-satunya yang perlu diwaspadai hanya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Secara umum defisit transaksi berjalan kemungkinan akan naik di tahun ini.
Sementara itu David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk lebih menyoroti kejatuhan rupiah disebabkan karena naiknya imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun yang hampir menyentuh level 3%.
"Ditambah lagi data-data terakhir cukup baik seperti data klaim pengangguran dan data non farm payrolls," urainya kepada Kontan.co.id, Minggu (22/4).
Perbaikan data ekonomi tersebut berhasil membawa indeks dollar AS kembali menguat. Menjelang penutupan perdagangan Jumat (20/4) ia sempat menyentuh level 90,404. Hanya saja akhirnya indeks ditutup sedikit melemah di level 90,316.
Namun ia melihat kejatuhan rupiah ini tidak semata-mata terjadi karena alasan fundamental ekonomi Indonesia. Menurutnya tekanan eksternal ini juga terjadi pada hampir semua mata uang negara berkembang. Bahkan Thailand dan Malaysia saja yang neraca perdagangannya surplus turut tumbang.
Seperti dikutip dari Bloomberg, pada Jumat ringgit Malaysia ditutup melemah 0,17% ke level 3,8977 per dollar AS, sedangkan bath Thailand ditutup melemah 0,35% ke level 31,345 per dollar AS.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Lukman Leong Analis PT Valbury Asia Futures. Menurutnya semua mata uang juga tertunduk di hadapan dollar AS. Ia malah melihat tidak ada sentimen negatif yang menekan rupiah. Menurutnya mata uang Garuda masih mendapatkan sedikit sokongan dari kenaikan peringkat utang oleh Moody’s.
Baginya kondisi fundamental ekonomi tidak hanya tercermin dari mata uangnya saja, tetapi lebih ditentukan oleh tujuan ekonomi suatu negara. Penurunan suku bunga acuan bisa dilakukan untuk mengakomodir pertumbuhan ekonomi. Walaupun ini berimbas pada pelemahan mata uang tetapi ini bisa berdampak pada ekspor.
“Perlemahan belakangan ini masih dalam range yang wajar,” cetusnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News