Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve untuk memangkas suku bunga acuannya pada akhir Juli 2019, sukses membuat kurs rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (1/8). Hal ini karena, sikap The Fed yang cenderung hawkish usai memangkas suku bunga acuannya.
Berdasarkan data Bloomberg, pergerakan kurs rupiah Kamis (1/8) terpaksa ditutup melemah di level Rp 14.116 per dolar AS atau koreksi 0,67%. Sedangkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau yang dikenal dengan JISDOR ikut terdepresiasi sebanyak 72 poin dan membawa rupiah ke level Rp 14.098 per dolar AS.
Baca Juga: Pelemahan rupiah akibat The Fed diprediksi hanya sementara
Kepala Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, pergerakan rupiah cenderung masih akan terdepresiasi hingga sisa akhir tahun. Bukan karena dampak dari penurunan suku bunga acuan The Fed (FFR) berkepanjangan, tapi juga karena kondisi fundamental Tanah Air yang masih terlilit defisit transaksi berjalan (CAD).
"Selama struktural CAD belum berubah, rupiah akan terus bergerak terdepresiasi secara terukur," kata Enrico kepada Kontan, Kamis (1/8).
Baca Juga: Menkeu yakin stabilitas inflasi dan penurunan suku bunga pacu pertumbuhan ekonomi
Sementara itu, dampak sikap The Fed yang hawkish terhadap kebijakan moneternya berhasil membuat dolar AS menguat terhadap mata uang dunia lainnya. Enrico memperkirakan, selama data ekonomi AS masih cukup solid peluang untuk FFR kembali dipangkas baru akan terjadi di Desember 2019.
Saat itu terjadi, bisa dipastikan aliran dana asing yang masuk ke negara berkembang atau emerging market seperti Indonesia cenderung akan melambat. Bahkan, tercermin dari kondisi Kamis (1/8), asing cenderung melakukan profit taking saat mengetahui sikap hawkish The Fed.
Di sisi lain, perbedaan imbal hasil portofolio Indonesia dengan negara lain dinilai Enrico masih positif. Harapannya, secara perlahan dampak easing cycle dari kebijakan moneter The Fed akan berkurang.
Baca Juga: LPEM UI: Respons negatif pasar terhadap The Fed hanya sementara
Adapun hal-hal yang perlu diwaspadai bagi pergerakan kurs rupiah ke depan yakni sikap The Fed yang tidak se-dovish harapan pasar. Di sisi lain, Indonesia masih memiliki pekerjaa rumah (PR) uuntuk menekan CAD.
"Ada kemungkinan BI memangkas suku bunga 25bps lagi di Agustus 2019, untuk selanjutnya cukup memantau perkembangan pemangkasan FFR selanjutnya," jelasnya.
Baca Juga: The Fed hawkish, harga emas masih bisa menuju US$ 1.500
Enrico menjelaskan, saat The Fed memangkas FFR maka ruang bagi BI untuk memangkas suku bunga acuan menjadi lebih besar. Namun, saat The Fed cenderung hawkish pada kebijakan moneternya, maka ruang BI untuk memangkas suku bunga acuannya menyempit.
Menurutnya, sekarang adalah masa-masa normalisasi. Kalaupun terjadi pelemahan rupiah, menurutnya masih dalam batas wajar. Hingga akhir tahun, rupiah diperkirakan berada di level Rp 14.500 per dolar AS, dengan kenaikan secara bertahap dan volatilitas terukur.
Baca Juga: Pelemahan rupiah bisa ditahan rilis PDB kuartal kedua
Target tersebut, sudah mempertimbangkan berbagai sentimen yang berpotensi menekan rupiah hingga akhir 2019. Di antaranya isu perang dagang antara AS dan China, proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada Oktober nanti.
"Yang paling perlu diperhatikan adalah dampak dari perang dagang antara AS dan China. Kalau ekonomi China terkena dampak pelambatan ekonomi maka bisa berimbas ke kurs," tandasnya.
Baca Juga: Rupiah ditutup melemah 0,67% di level Rp 14.116 per dolar AS
Enrico menegaskan, level Rp 14.500 per dolar AS juga menjadi level fundamental rupiah ke depan, dengan menimbang kondisi CAD, inflow dana asing, pertumbuhan bond dan FDI. Jika aliran portofolio yang masuk cukup deras, rupiah punya peluang untuk menyentuh Rp 14.000 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News