Reporter: Aulia Ivanka Rahmana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah berpeluang terperosok ke level Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) di akhir tahun ini. Pelemahan rupiah bisa berimbas ke kinerja emiten konsumer.
Senior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Divion Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi Riawan mengatakan, pelemahan rupiah berikan dampak ke meningkatnya biaya impor bahan baku yang digunakan emiten sektor konsumer.
"Hal ini bisa mengurangi profitabilitas emiten, terutama jika harga jual produk tetap stabil atau tidak bisa menyesuaikan dengan kenaikan biaya," kata Reza kepada Kontan.co.id, Senin (23/10).
Apalagi, terhadap emiten konsumer yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor, seperti gandum, gula, minyak kelapa sawit, dan susu, akan lebih rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Lanjut Melemah, Selasa (24/10), Bisa Tembus Rp 16.000 Per Dolar AS?
Reza mencontohkan, pada tahun 2022 lalu, pelemahan rupiah telah memberikan tekanan pada margin laba bersih emiten sektor konsumer. Misalnya, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 28% menjadi Rp 5,9 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp 8,2 triliun.
PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) juga membukukan penurunan laba bersih sebesar 9% menjadi Rp 4,3 triliun dari Rp 4,7 triliun di 2022.
Sementara, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) masih bisa mempertahankan laba bersihnya masing-masing sebesar Rp 6,7 triliun dan Rp 1,6 triliun, namun margin laba bersihnya juga menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
"Untuk mengantisipasi dampak pelemahan rupiah, beberapa emiten telah melakukan penyesuaian harga jual produk mereka dengan besaran rata-rata 5% pada tahun 2022," tutur Reza.
Selain itu, mereka juga berupaya melakukan efisiensi biaya operasional dan mencari pemasok bahan baku alternatif yang lebih murah. Namun, strategi ini memiliki risiko berkurangnya daya saing produk dan kekuatan merek di pasar jika konsumen beralih ke produk lain yang lebih murah atau lebih berkualitas.
Baca Juga: Masih Tertekan Pelemahan Rupiah, Cek Prediksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Besok
Reza memproyeksikan kinerja emiten konsumer hingga kuartal depan akan bergantung pada beberapa faktor. Pertama, kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan The Federal Reserve yang berpengaruh pada nilai tukar rupiah dan suku bunga. Kedua, dinamika harga komoditas global yang berpengaruh pada biaya bahan baku impor.
Terakhir, strategi bisnis dan inovasi produk yang dilakukan oleh emiten konsumer untuk mempertahankan pangsa pasar dan loyalitas konsumen.
"Secara umum, beberapa analis menilai prospek saham-saham emiten konsumer masih menarik sebagai pilihan investasi karena permintaan akan tetap ada meskipun ada tekanan inflasi," kata Reza.
Namun, harus selektif dalam memilih saham-saham emiten konsumer yang memiliki fundamental kuat, valuasi murah, dan prospek pertumbuhan baik juga tetap harus dilakukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News