Reporter: Noor Muhammad Falih, Sofyan Nur Hidayat, Yuthi Fatimah | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Sepanjang pekan lalu, investor global memelototi kebijakan moneter beberapa bank sentral. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed misalnya, menghentikan program stimulus (quantitative easing). Walhasil, dollar AS kian perkasa terhadap mayoritas mata uang, termasuk rupiah.
Sebaliknya, Bank Sentral Jepang alias Bank of Japan (BoJ) bakal menggelontorkan stimulus sekitar ¥ 80 triliun tahun depan. Tujuannya agar nilai tukar yen melemah, sehingga bisa mengejar target inflasi. Fenomena ini kembali memanaskan perang mata uang alias currency war.
Bagaimana posisi rupiah? Ekonom Standard Chartered Indonesia Eric Sugandi menilai, kebijakan BoJ akan memicu currency war di negara sekitar yang berhubungan langsung dengan Jepang, seperti Korea Selatan dan Taiwan. Indonesia juga bisa terkena imbas. "Kita makin murah mengimpor barang Jepang, sementara barang ekspor kita ke Jepang makin mahal. Ini potensi mempengaruhi demand," ujar Eric.
Kendati begitu, dia menilai, kebijakan BoJ tidak terlalu berpengaruh pada pergerakan rupiah. Pelemahan rupiah bukan disengaja, tapi karena ada masalah fundamental, seperti transaksi berjalan defisit.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menilai, di satu sisi kebijakan BoJ bisa menjadikan dollar AS kian perkasa, sehingga rupiah semakin terpuruk. "Di sisi lain, ini juga peluang jalur masuk investasi portofolio ke Indonesia," ujar David.
Sebab, bisa jadi investor Jepang yang kelebihan likuiditas yen mencari portofolio investasi yang memberi spread lebar. "Tahun depan, suku bunga BoJ menjadi 1%. Investor Jepang masih untung di kisaran 7% jika berinvestasi di obligasi Indonesia tenor 10 tahun," ungkap David.
Selain Amerika dan Jepang, Bank Sentral Rusia juga menaikkan bunga 1,5% menjadi 9,5%. Untung saja, menurut David, kebijakan ini tidak berpengaruh langsung ke nilai tukar dollar AS dan rupiah.
Tahun depan kabarnya Bank Sentral Eropa bakal memberikan stimulus antara € 700 miliar hingga € 1 triliun. Menurut David, ini juga bisa membuka jalur masuk investasi ke Indonesia.
Secara fundamental, Kepala Ekonom Samuel Aset Managemen Lana Soelistianingsih menilai, prospek rupiah hingga semester I-2015 masih cenderung melemah. Dalam konteks currency war, ketika mata uang negara lain tengah melemah rupiah malah tidak bagus jika menguat sendirian. "Eksportir kita makin tidak diuntungkan," kata Lana.
Akhir tahun ini, Eric memprediksi, kurs rupiah versus dollar AS di Rp 12.200. Prediksi David, rupiah di rentang Rp 12.000-Rp 12.100. Sedangkan akhir tahun 2015, ada potensi ke Rp 11.700.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News