kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45922,49   -13,02   -1.39%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Risiko kontijensi membayangi emiten BUMN, begini penjelasan dan rekomendasi analis


Minggu, 15 September 2019 / 12:21 WIB
Risiko kontijensi membayangi emiten BUMN, begini penjelasan dan rekomendasi analis


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Moody’s Investors Service merilis laporan pada Rabu (11/9) yang menjelaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kawasan Asia Pasifik kecuali China, merupakan sumber Risiko kontijensi (contingent risk) atau ketidakpastian mengenai perolehan laba atau rugi pada neraca pemerintah. Risiko tersebut timbul dari liabilitas yang ditanggung oleh BUMN, termasuk dalam hal ini utang.

Risiko kontijensi muncul ketika pemerintah menjamin utang BUMN atau dari operasi kuasi fiskal dimana pemerintah memberi subsidi anggaran atau jaminan pemerintah.  

Dalam risetnya, beberapa BUMN Indonesia yang dicermati Moody’s adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT),  PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), dan PT Indofarma Tbk (INAF). Menurut Moody’s enam emiten pelat merah ini mencatatkan biaya kristalisasi kewajiban yang walaupun tidak besar tapi tidak bisa diabaikan.

Indikator yang dilihat Moody’s adalah seberapa sehat keuangan perusahaan tersebut. Salah satu tolak ukurnya adalah Debt to Equity Ratio (DER). Sederhananya, rasio utang terhadap ekuitas adalah semakin tinggi DER menunjukkan komposisi utang yang semakin besar dibanding dengan total modal perusahaan. Hal ini bisa mencerminkan apakah sumber modal perusahaan sangat tergantung pada pihak luar.

Baca Juga: Tren suku bunga rendah, Moody's pangkas outlook bank investasi global

Moody’s menyebutkan WSKT memiliki DER tertinggi, yakni 359,1% kemudian diikuti GIAA 211,2% lalu ADHI 137,5%. Adapun rasio utang terhadap ekuitas KAEF sebesar 126,2% diikuti KRAS 114,2% dan yang terakhir INAF 112,4%.

Direktur Utama Avere Investama Teguh Hidayat menjelaskan riset mengenai risiko kontijensi ini memperlihatkan adanya risiko tapi untuk spektrum waktu yang panjang.

“Moody’s memberikan semacam peringatan akan sesuatu yang belum terjadi, jadi baru ada risiko saja. Bukan berarti investor harus meninggalkan sahamnya, hanya saja risiko investasinya meningkat,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (13/9).

Menurut Teguh, risiko kontijensi itu juga harus dilihat sejauh mana pemerintah dapat mengelola risiko tersebut. Namun, hingga saat ini laporan keuangan BUMN (kecuali KRAS dan GIAA) masih bagus-bagus saja.

Di antara daftar emiten yang diperhatikan Moody’s, Teguh fokus mencermati emiten pelat merah di sektor konstruksi dan kesehatan.

Teguh melihat utang INAF dan KAEF tidak terlalu besar tapi yang menjadi katalis negatifnya adalah isu defisit BPJS kesehatan. Menurut dia, masalah ini cukup serius. Nilai klaim yang harus dibayar mencapai Rp 27,9 triliun sedangkan pendapatan dari uang iuran tidak seberapa.

Pemerintah mencoba untuk menaikkan iuran BPJS, tapi bukan berarti hal ini bisa jadi solusi. Sebab masalahnya bukan seberapa mahal iurannya, tapi soal kepatuhan membayarnya. Jadi menurut Teguh bisa saja masalah ini bergulir hingga waktu yang cukup panjang. Pemerintah masih harus menemukan solusi yang terbaik untuk sektor kesehatan.

Tentunya, dalam beberapa waktu ke depan perusahaan farmasi akan terbebani. Sebut saja KAEF saat ini saja sudah harus menanggung tunggakan BPJS sebesar Rp 400 miliar atau 5% dari pendapatannya.




TERBARU

[X]
×