Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Revisi peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait reksadana pendapatan tetap (RDPT), khususnya berbasis efek belum menemukan titik temu.
Fakhri Hilmi, Kepala Departemen Bidang Pengawas Pasar Modal II OJK mengatakan, pihaknya masih melakukan pembicaraan dengan para pelaku industri. Namun, ia bilang, ada beberapa usulan yang muncul.
"Salah satu opsinya, RDPT efek dipertahankan dengan catatan, efek (yang menjadi aset dasar) harus marked to market," ujarnya.
Jika ketentuan itu diberlakukan, maka nilai investasi dari pemodal yang memiliki produk investasi itu akan merosot. Khususnya, RDPT yang memiliki aset dasar saham. Pasalnya, beberapa saham yang menjadi underlying RDPT efek kini sudah turun drastis.
Salah satunya adalah saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Menurut sumber KONTAN, BUMI merupakan salah satu saham yang banyak dijadikan aset dasar. Berbeda dengan RDPT yang beraset dasar obligasi. Investor hanya tinggal menunggu jatuh tempo saja.
Hingga saat ini, kata Fakhri, total nilai RDPT efek ini masih sekitar Rp 30 triliun. Asal tahu saja, aturan RDPT portfolio efek ini diterbitkan 2008. Penghitungan nilai aktiva bersih (NAB) RDPT portfolio efek tidak harus sesuai nilai pasar.
NAB bisa dihitung berdasarkan harga pembelian efek. Sehingga, nilai dana investasi tidak akan tergerus ketika harga efek yang bersangkutan turun. Alhasil, laporan investasi investor pun tetap kinclong.
Nah, ketika aturan ini diterbitkan, terjadi gejolak hebat di pasar keuangan. Harga saham dan obligasi merosot tajam. Nah, produk investasi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan asuransi dan dana pensiun (dapen) untuk memoles laporan keuangan hasil investasinya.
Menurut informasi yang diterima KONTAN, mayoritas atau sekitar 80% institusi yang memarkirkan dananya di produk RDPT portofolio efek ini adalah perusahaan asuransi dan dana pensiun pelat merah alias BUMN.
Pada tahun 2010, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) mengeluarkan surat edaran (SE). Isinya, produk RDPT harus memiliki aset dasar sektor riil.
Sehingga, investor tidak diperkenankan untuk melakukan tambahan investasi (top up) pada RDPT portofolio efek. Sementara itu, pada draf perubahan aturan RDPT oleh OJK disebutkan, RDPT hanya diperbolehkan berinvestasi pada efek yang tidak ditawarkan melalui penawaran umum guna pendanaan sektor riil.
Manajer investasi yang telah mengelola RDPT portfolio efek wajib menyesuaikan dengan peraturan ini paling lambat tiga tahun sejak peraturan ini ditetapkan. Artinya, RDPT portfolio efek harus dibubarkan.
Semula, OJK menargetkan aturan ini bisa diterbitkan 2014. Namun, hingga kini masih terdapat pro dan kontra terkait aturan ini. Kabarnya, ada tiga opsi menjadi menjadi pertimbangan pembahasan.
Pertama, RDPT sektor riil dibuat aturan baru, sedangkan RDPT efek mengacu pada aturan lama. Ke dua, aturan RDPT dirombak dan khusus dibuat untuk RDPT sektor riil. Sementara RDPT efek diberi tenggat waktu sebelum dibubarkan.
Opsi ketiga, aturan RDPT sektor riil dan RDPT efek dibuat aturan baru. Namun, pada aturan baru RDPT efek ditentukan harus dihitung berdasarkan marked to market.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News