kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,41   -5,94   -0.64%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PSAK 72 menjadi tantangan emiten sektor properti


Minggu, 01 Maret 2020 / 10:59 WIB
PSAK 72 menjadi tantangan emiten sektor properti


Reporter: Arvin Nugroho | Editor: Wahyu T.Rahmawati

Di sisi lain, Richardson melihat adanya PSAK 72 akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan pendapatan para pengembang properti. Bagi developer yang fokusnya bermain pada high-rise project, maka pertumbuhan revenuenya akan memakan waktu yang lebih lama. “Tentu akan mengalami slowing growth revenue,” kata Richardson.

Analis Kresna Sekuritas Robertus Hardy, Etta Rusdiana, dan Eriza Putri dalam riset mencatat untuk menstabilkan pertumbuhan pendapatan dengan cara meningkatkan jumlah produk landed-house yang membutuhkan 8–12 bulan dari sebelum penjualan hingga serah terima.

Selain PSAK 72 yang sudah berlaku, tantangan sektor properti juga dibayangi oleh perkembangan omnibus law. Omnibus law merupakan upaya pemerintah untuk menarik investor ke Indonesia. Salah satu poin yang dibahas dan berkaitan dengan sektor properti adalah mengenai penyederhanaan izin. Kresna Sekuritas merekomendasikan netral untuk sektor properti.

Baca Juga: Ekonomi melambat, sektor perumahan diharapkan jadi obat pendorong pertumbuhan

Richardson menilai bila omnibus law terutama aturan mengenai penyederhanaan izin benar-benar berlaku, pengaruhnya hanya pada sisi supply. Adanya penyederhanaan izin tidak memiliki korelasi yang positif terhadap permintaan. Dengan adanya omnibus law, developer dapat memangkas waktu dari proses pembangunan hingga penyerahan sehingga lebih cepat. “Waktu dan cost perizinan dapat diturunkan, tapi kalau dari permintaan tidak akan berpengaruh,” kata Richardson.

Di sisi lain, Joey enggan berkomentar lebih jauh terkait dampak omnibus law terhadap sektor properti. Sebabnya, proses penggodokan aturan itu masih berlangsung dan belum  tahap final.

Melihat kondisi itu, Joey melihat prospek saham emiten properti akan banyak didominasi oleh produk end-user. Mengingat, dalam dua hingga tahun ke belakang, landed-house mendominasi penjualan. Landed-house merupakan pilihan yang cenderung diambil oleh masyarakat Indonesia karena kebiasaan untuk tinggal di apartemen belum terbentuk.

Baca Juga: Harga pelaksanaan rights issue Agung Podomoro Land (APLN) Rp 240, ini jadwalnya

PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA) adalah emiten dengan fokus produk end-user. Meski begitu, SMRA dan CTRA juga telah menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia. Selain itu, keduanya memiliki exposure terhadap landed-house yang cukup besar, yaitu kurang lebih 75%. Ditambah lagi, pendapatan kedua emiten tidak berubah walau PSAK 72 telah berlaku.

Sementara, Richardson merekomendasikan emiten PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan SMRA. Faktor performa penjualan yang masih sesuai dengan jalur menjadi penyebabnya. Belum lagi, fokus keduanya di tahun 2020 akan banyak merilis produk perumahan untuk segmen end-user.

Joey merekomendasikan buy saham emiten SMRA dan CTRA dengan target harga masing-masing Rp 1.400 per saham. Sedang, Richardson merekomendasikan buy saham BSDE dengan target harga Rp 1.500 dan SMRA dengan target harga Rp 1.300 per saham.

Jumat (28/2), harga saham SMRA ditutup turun 1,75% ke Rp 840 per saham. Harga saham BSDE tergerus 2,91% ke Rp 1.000 per saham. Sedangkan harga saham CTRA naik 2,16% ke Rp 945 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×