Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Alhasil, Fikri menilai berbagai kondisi eksternal tersebut mendorong ketertarikan investor terhadap surat utang masing-masing negara dalam beberapa waktu mendatang. Namun, Fikri menekankan bahwa selisih imbal hasil milik Indonesia yang paling menarik.
"Surat utang kita paling cantik, karena spread yield yang masih besar. Untuk yield SUN masih di atas 500 bps, real yield untuk SUN tenor 10 tahun masih sangat besar di kisaran 300 bps hingga 400 bps, dengan tingkat inflasi saat ini 2,7%," papar Fikri.
Bahkan, jika tren suku bunga turun berlanjut hingga akhir 2020 dengan inflasi di kisaran 3,2%, maka spread real yield surat utang Indonesia masih berada di kisaran 250 bps hingga 300 bps dan masih menarik. Apalagi untuk surat utang berdenominasi dolar AS, dinilai lebih menarik seiring dengan stabilnya nilai tukar rupiah, serta posisi yield US Treasury dan inflasi AS yang masih rendah.
Baca Juga: Pefindo dibanjiri mandat MTN di awal 2020
Fikri mengungkapkan 2020 obligasi korporasi akan tumbuh lebih baik dari 2019. Dia optimistis surat utang korporasi bakal diburu tahun ini, dengan potensi kenaikan pangsa pasar hingga 7%. Sejalan dengan meningkatnya minat investor terhadap surat utang, indeks IBPA juga bakal melanjutkan peningkatan.
Hanya saja, Fikri juga menggarisbawahi beberapa tantangan yang masih akan menghantui daya tarik surat utang Indonesia. Antara lain perkembangan konflik AS dengan Iran, serta perkembangan negosiasi dagang antara AS dengan China.
"Geopolitik dunia masih volatile besar, sangat fragile bukan hanya trade war yang menjadi headline. Konflik AS dan Iran kemungkinan akan membuat perubahan arah investasi global," tegasnya.
Baca Juga: Beredar skema asset settlement Hanson International (MYRX), investor dibayar rumah
Dari domestik, kinerja sektor riil masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Hal ini tampak dari beberapa indikator seperti penjualan sepeda motor dan konsumsi semen yang masih lesu.