Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek kinerja tiga emiten tambang milik negara diyakini akan membaik seiring dengan membaiknya harga komoditas andalan masing-masing emiten. Namun, kinerja PT Bukit Asam Tbk (PTBA) diyakini akan lebih moncer tahun ini.
Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Maryoki Pajri Alhusnah mengatakan, prospek cerah Bukit Asam seiring dengan harga batubara yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Namun, dia menilai, prospek ini juga harus dibarengi dengan efisiensi yang dilakukan manajemen.
Pesona PTBA juga ditambah dengan beberapa proyek yang sedang dilakukan emiten ini, yang dinilai akan menjadi pendukung kinerjanya jika proyek tersebut dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan jadwalnya.
Untuk PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), meskipun segmen pendapatan emiten ini terdiversifikasi cukup baik, sekitar 72% pendapatannya masih berasal dari segmen emas. Asumsi harga emas akan tertekan karena pemulihan ekonomi tentu bisa menekan kinerja ANTM.
Baca Juga: Harga nikel terus menurun, ternyata ini penyebabnya
“Menekan kinerja ANTM di sini maksudnya bukan kinerjanya akan menurun, tetapi lebih akan membaik secara perlahan asalkan efisiensinya terus berjalan,” terang Maryoki kepada Kontan.co.id, Rabu (17/3). Secara umum, NH Korindo Sekuritas melihat kinerja produksi dan volume penjualan ANTM akan mulai tumbuh tahun ini, walaupun memang belum signifikan.
Untuk diketahui, ketiga emiten tambang di bawah naungan MIND ID mencatatkan kinerja yang beragam. PTBA membukukan pendapatan Rp 17,32 triliun, menurun 20,48% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 21,79 triliun. PTBA membukukan laba bersih Rp 2,39 triliun, menyusut 41,17% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 4,06 triliun.
ANTM membukukan laba bersih senilai Rp 1,15 triliun. Laba ini meroket 492,87% dari laba bersih tahun 2019 yang hanya Rp193,85 miliar.
Namun, Antam membukukan pendapatan senilai Rp 27,37 triliun. Pendapatan menurun 16,34% dari torehan pendapatan di akhir 2019 yang mencapai Rp 32,72 triliun.
Baca Juga: IHSG turun tiga hari beruntun ke 6.277 hingga Rabu (17/3)
Sedangkan PT Timah Tbk (TINS) masih menderita kerugian di 2020. Produsen timah ini membukukan kerugian bersih senilai Rp 340,60 miliar. Hanya saja, kerugian ini menyusut dari kerugian bersih tahun sebelumnya yang mencapai Rp 611,28 miliar.
Maryoki menyebut, kinerja ketiga perusahaan tersebut sepanjang 2020 sesuai dengan ekspektasi. Kinerja PTBA yang menurun karena average selling price (ASP) atau harga jual rata-rata yang menurun. Sedangkan ANTM mampu mengurangi beban-beban perusahaannya sehingga masih mampu meningkatkan laba bersihnya.
TINS juga mampu mengurangi beban perusahaan walaupun masih merugi. “Jadi, jika dilihat dari sisi efisiensi, maka tiga perusahaan ini cukup mampu menjalankan strategi efisiensinya,” sambung dia.
Untuk proyeksi harga komoditas andalan masing-masing emiten, Maryoki menyebut harga nikel akan cenderung stabil di rentang US$ 16.000 per metrik ton-US$ 17.000 per metrik ton. Sedangkan harga emas akan stabil di kisaran US$ 1.700 per ons troi-US$ 1.800 per ons troi tahun ini.
Baca Juga: Rekap kinerja emiten tambang BUMN: ANTM dan PTBA raup laba, TINS masih merugi
Harga batubara Newcastle diproyeksikan bakal berada di rentang US$ 60 per ton-US$ 75 per ton tahun ini. Sedangkan harga timah juga diperkirakan akan normal dan stabil di kisaran US$ 18.000 per ton-US$ 20.000 per ton.
Mengutip data Bloomberg, harga nikel untuk kontrak tiga bulanan di London Metal Exchange (LME) per Selasa (16/3) berada di level US$ 16.151 per ton. Harga timah di LME untuk kontrak tiga bulanan ada di level US$ 25.000 per ton.
Sedangkan harga batubara Newcastle untuk kontrak pengiriman April 2021 berada di level US$ 87,95 per ton.
Baca Juga: Simak rekomendasi saham emiten batubara saat harga batubara global memanas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News