Reporter: Maggie Quesada Sukiwan, Widiyanto Purnomo | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga minyak kembali terpeleset di awal pekan ini. Sinyal membanjirnya stok minyak mentah yang didengungkan Arab Saudi dan dominasi dollar AS menjadi pemicu utama pelemahan si emas hitam. Sebab, stok minyak yang meluber tak diimbangi dengan permintaan.
Mengacu data Bloomberg, Senin (15/6) pukul 16:52 WIB, harga minyak pengiriman Juli 2015 terkoreksi 1,22% menjadi US$ 59,23 per barel. Namun dalam sepekan terakhir, harga minyak naik 1,87%.
Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst Fortis Asia Futures, menjelaskan, pasokan minyak yang meluber merupakan faktor utama pelemahan harga minyak. Lihat saja pasokan Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang melonjak dari 30 juta barel per hari menjadi 31,33 juta barel per hari. Angka ini melampaui target pasokan minyak harian yang dipatok tahun lalu. Sebanyak 12 negara anggota OPEC menguasai 40% pasokan minyak dunia.
Faisyal, Research and Analyst Monex Investindo Futures, memaparkan, salah satu faktor yang mencederai harga minyak berasal dari Arab Saudi. Produsen utama minyak mentah ini mengirim sinyal kesiapan menggenjot produksi di atas level rekor tertinggi demi memenuhi permintaan.
“Padahal belum terkonfirmasi permintaan akan membaik,” ungkap Faisyal. Arab Saudi, Irak dan Uni Emirat Arab merupakan tiga negara produsen minyak terbesar di dunia. Ketiga negara tersebut terus memompa produksi minyaknya hingga mencatat rekor baru.
Berdasarkan informasi Libya News Agency, produksi minyak di negara itu juga terdongkrak hingga 500.000 barel per hari. Ada pula Energy Information Administration yang memproyeksikan persediaan minyak Amerika Serikat melonjak sebanyak 240.000 barel per hari menjadi 9,43 juta barel. Memang Negeri Paman Sam telah memangkas 7 pengeboran aktifnya menjadi 635 pengeboran akhir pekan lalu. Tapi, produksi minyak AS di kuartal pertama 2015 melebihi ekspektasi. “Kalau ada penambahan stok, harga minyak pasti kelelep,” tutur Faisyal.
Melubernya stok minyak mentah dunia tak diimbangi permintaan, sebab perekonomian global tengah melambat. Contohnya, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3% menjadi 2,8% di tahun ini. Pertumbuhan ekonomi AS juga direvisi, dari 3,2% ke 2,7%. IMF sudah memperbaiki ramalan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dari 7% ke 6,8%.
Deddy memproyeksikan harga minyak mentah dalam sepekan ke depan bergerak di rentang US$ 58,4 hingga US$ 61,8 per barel. Sedangkan Faisyal menduga, harga minyak dalam sepekan berada di kisaran US$ 58,15 hingga US$ 63,20 per barel.
Hingga akhir tahun ini Faisyal memproyeksikan, harga minyak mentah terkoreksi di kisaran US$ 50 hingga US$ 60 per barel. Adapun prediksi Deddy di level US$ 50 hingga US$ 63 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News