Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek kinerja PT Harum Energy Tbk (HRUM) masih diliputi ketidakpastian lesunya permintaan nikel. Analis masih menantikan lebih lanjut ekspansi HRUM di segmen bisnis nikel dan rencana buyback saham hingga Rp 1 triliun.
Analis Mirae Asset Sekuritas Rizkia Darmawan mengamati, prospek kinerja HRUM akan bergantung pada volume produksi dan penjualan batubara dan nikel. Kemungkinan dari sisi peningkatan harga jual masih terbatas dan untuk biaya juga masih tergantung dari harga bijih nikel.
Rizkia memandang bahwa permintaan batubara China secara agregat masih akan bertumbuh, namun akan mengutamakan batubara dengan kadar cv atau nilai kalori tinggi. Batubara juga akan tergantung dari output energi pembangkit di luar batubara seperti hydropower.
Baca Juga: Begini Rencana Ekspansi Harum Energy (HRUM) yang Anggarkan Capex US$ 400 Juta di 2025
Selain itu, permintaan dari India sendiri diprediksikan tetap baik. Pertumbuhan permintaan dari negara-negara asia tenggara juga diprediksikan cukup kuat atas kebutuhan energi dan juga peningkatan aktivitas manufaktur yang meningkat.
Untuk harga nikel diperkirakan masih akan bergantung suplai dan permintaan dari nikel ore atau bijih nikel dan produk turunannya. Mirae Asset Sekuritas memproyeksi, harga nikel masih akan cenderung datar (sideways) di tahun 2025 karena permintaan dari China diekspektasikan belum pulih seutuhnya.
"Kinerja HRUM sendiri masih bergantung terhadap volume produksi dan penjualannya," kata Rizkia kepada Kontan.co.id, Jumat (24/1).
Analis Samuel Sekuritas Farras Farhan melihat, adanya peluang pertumbuhan HRUM dari potensi naiknya permintaan batubara di kuartal ini akibat faktor musiman seperti restocking untuk musim dingin dan perayaan Tahun Baru Cina, yang membuka peluang bagi investor untuk masuk.
Pertumbuhan penjualan batubara pun diperkirakan terus berlanjut dengan rata-rata kenaikan tahunan (CAGR) sebesar 4,9% dalam tiga tahun ke depan yang didorong oleh permintaan kuat dari India. Transisi energi hijau yang berjalan lambat di berbagai negara memberikan dukungan terhadap harga batubara, ditambah potensi reformasi royalti di Indonesia dan lambatnya India dalam mencapai target energi hijau COP29.
Kebijakan China yang menetapkan bauran listrik termal sebesar 58% juga diharapkan dapat meningkatkan permintaan batubara secara global, yang berpeluang menciptakan kinerja pasar yang lebih baik. Namun, rata-rata harga batubara pada tahun 2025 diperkirakan turun menjadi US$ 125 per ton akibat perlambatan ekonomi global dan target pengurangan emisi COP29.
Baca Juga: Begini Rekomendasi Saham Emiten Nikel Untuk Hari Ini (15/1)
Harum Energy juga menghadapai tantangan besar dari peralihan sektor Electric Vehicle (EV) ke baterai LFP yang tidak berbasis nikel. Perubahan ini diperkirakan akan menekan permintaan nikel di masa depan dan bisa berdampak negatif pada prospek emiten tambang nikel seperti HRUM.
Samuel Sekuritas menyebutkan, perang dagang AS-China, stimulus ekonomi global lebih rendah dari perkiraan, dan transisi kendaraan listrik yang lebih lambat akan membebani permintaan nikel di tengah masalah kelebihan pasokan. Faktor-faktor tersebut memberikan tekanan harga lebih lanjut, menurunkan pendapatan dan menyebabkan kinerja pasar yang buruk.
Pada tahun 2024, harga rata-rata nikel tercatat mencapai US$ 16.818 per ton, sedikit di bawah proyeksi sebelumnya sebesar US$ 16.850. Untuk tahun 2025, target harga kembali direvisi dari US$ 15.500 menjadi US$ 15.000 per ton, turun sekitar 12,1% dibandingkan harga rata-rata tahun sebelumnya.
"Penurunan proyeksi harga nikel ini disebabkan oleh kondisi global dan dinamika pasokan serta permintaan yang tidak stabil," ungkap Farras dalam riset 14 Januari 2025.
Adapun berdasarkan informasi manajemen, pengembangan operasi penambangan bijih nikel tahun ini di anak perusahaan yakni PT Position menjadi fokus tahun ini. HRUM juga memprioritaskan penyelesaian konstruksi proyek High Pressure Acid Leach (HPAL) di PT Blue Sparking Energy (BSE).
Baca Juga: Begini Rekomendasi Saham & Proyeksi IHSG Menanti Arah Suku Bunga dari RDG BI (15/1)
Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta melihat, harga nikel LME telah menguat ke level US$ 16.000 per ton (ytd) sejalan dengan pandangan bahwa harga telah mencapai titik terendah. Pemicu reli tersebut juga dipengaruhi aktivitas short covering dari spekluan karena komentar Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kementarian ESDM berencana untuk memangkas setengah dari kuota bijih nikel yang telah diberikan di 2025, sekitar 298 juta ton untuk tahun ini. Namun, kabar terbaru ESDM memberikan sinyal tidak akan ada pemotongan kuota bijih nikel.
Di samping itu, Ryan menyoroti bahwa dibatalkannya potensi kenaikan tarif royalti untuk bijih nikel dari 10% menjadi 15% merupakan angin segar bagi industri nikel. Walaupun demikian, HRUM paling sedikit terdampak daripada emiten nikel lainnya, apabila tarif royalti naik yang bisa membebani laba bersih.
Dalam riset 23 Januari 2025, Indo Premier Sekuritas memaparkan bahwa penerapan tarif royalti naik 5% hanya mengurangi perkiraan laba bersih HRUM sekitar 1%. Sementara itu, MBMA akan paling terdampak negatif, disusul ANTM, NCKL, dan INCO.
Secara keseluruhan, Ryan masih menunggu pengungkapan data operasional HRUM untuk menilai kinerja lebih lanjut. Di samping itu, pelaku pasar menantikan stimulus Tiongkok dan tindakan Buyback HRUM dengan anggaran hingga Rp 1 triliun.
Analis CGS Internasional Sekuritas Jacquelin Hamdani menuturkan, prospek harga nikel masih lemah tahun ini dan memangkas perkiraan patokan harga nikel LME dan NPI untuk 2025-2026 masing-masing sebesar 4%-5% menjadi US$ 17.000 per ton dan US$ 12.000 per ton.
Baca Juga: Harum Energy (HRUM) Kembali Gelar Transaksi di Bisnis Nikel, Nilainya Rp 4,22 Triliun
Proyeksi tersebut mencerminkan pertumbuhan yang flat dibandingkan tahun 2024. Pelemahan harga nikel dipengaruhi situasi kelebihan pasokan nikel olahan global akan terus berlanjut hingga 2026, meskipun pada tingkatan yang menurun.
Dengan asumsi harga nikel yang lemah dan potensi semakin ketatnya pasar bijih nikel, CGS Internasional Sekuritas lebih memilih perusahaan dengan bijih nikel yang cukup, serta valuasi yang didorong oleh proyek-proyek yang sudah ada daripada bergantung pada nilai proyek-proyek di masa depan
‘’Kami lebih memilih penambang terintegrasi dengan sumber bijih nikel yang cukup dan proyek-proyek yang sudah berjalan daripada perusahaan yang masih membangun smelter,’’ tulis Jacquelin dalam riset 20 Januari 2025.
Jacquelin dan Farras sama-sama merekomendasikan Hold untuk HRUM dengan target harga masing-masing Rp 1.010 per saham dan Rp 1.450 per saham.
Sementara itu, Farras menyarankan Sell untuk HRUM dari sebelumnya buy dengan target harga Rp 1.100 per saham.
Sedangkan, Rizkia masih mengulas lebih lanjut rekomendasi dan target harga HRUM.
Selanjutnya: IHSG Bergerak Fluktuatif Selama 100 Hari Prabowo Menjabat
Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (28/1): Cerah Berawan hingga Hujan Ringan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News