Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu perusahaan Grup MNC, PT Global Mediacom Tbk (BMTR) digugat pailit oleh perusahaan telekomunikasi asal Korea Selatan, KT Corporation. Permohonan ini sudah terdaftar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Selasa (28/7) lalu.
"Meminta Pengadilan menerima dan mengabulkan permohonan pailit seluruhnya, serta menyatakan PT Global Mediacom Tbk, beralamat di MNC Tower lantai 27, Jl. Kebon Sirih No.17-19, Jakarta 10340 (termohon pailit) pailit dengan segala akibat hukumnya," tulis KT Corporation dalam petitum yang terdaftar dengan nomor perkara 33/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niaga Jkt.Pst.
Terkait gugatan ini, Manajemen BMTR menyebut, permohonan dari KT tersebut tidak berdasar atau tidak valid. Apalagi, ini merupakan kasus lama, yang sudah diputus sampai tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
Baca Juga: Perusahaan Hary Tanoe digugat pailit perusahaan telko asal Korea Selatan
"Perjanjian yang dijadikan dasar dari Permohonan telah dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan No. 97/Pdt.G/2017/PN.Jak.Sel tanggal 4 Mei 2017 yang telah berkekuatan hukum tetap," tulis Christophorus Taufik, Direktur, Chief Legal Counsel BMTR dalam rilis resmi perusahaan, Minggu (2/8).
Selain itu, KT Corporation sudah pernah juga mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan ditolak berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.104PK/Pdt.G/2019 tanggal 27 Maret 2019.
Asal muasal sengketa
Jika mengutip putusan No. 97/Pdt.G/2017/PN.Jak.Sel, kasus gugatan pailit dari KT Corporation ini terkait perjanjian jual-beli saham PT Mobile-8 Telecom, yang kini sudah berganti nama menjadi PT Smartfren Telecom Tbk (FREN).
Oiya, sebelum lebih lanjut, putusan ini muncul dari gugatan perdata yang diajukan induk usaha BMTR, yaitu PT MNC Investama Tbk (BHIT) pada tahun 2010.
Intinya, BHIT mempersoalkan Put and Call Option Agreement yang diteken pada November 2003 antara Global Mediacom (dulu masih bernama Bimantara Citra), Qualcom Inc, dan KT Freetel Co Ltd.
Perjanjian ini mewajibkan Global Mediacom membeli saham khusus Mobile-8 Telecom milik Qualcomm dan KT Freetel Co di harga khusus US$ 0,6951.
Akan tetapi, hak-hak khusus yang melekat bakal hilang jika Mobile-8 Telecom menggelar penawaran saham perdana ke publik atau initial public offering (IPO). Sekadar informasi, Mobile-8 Telecom IPO pada 29 November 2006.
Alhasil, perjanjian ini diperbarui dengan istilah Termination Agreement, untuk membuat perjanjian Put and Call Option Agreement baru tertanggal 9 Juni 2006 atau sebelum Mobile-8 Telecom IPO. Perjanjian baru ini menggantikan yang sebelumnya dibuat pada 2003.
Nah, perjanjian baru ini yang menimbulkan sengketa. BHIT menilai, perjanjian yang dilakukan BMTR dengan KT Freetel dan Qualcom ini tidak sah.
Alasan BHIT antara lain, perjanjian tersebut tidak menyebutkan batas waktu penjualan, sehingga bertentangan dengan azas kepastian hukum.
Selain itu, BHIT menyebut, perjanjian hanya ditandatangani Tergugat atau Direksi BMTR Hidajat Tjandradjaja, yang mana juga merupakan Direktur Utama Mobile-8 Telecom. Sehingga, ada benturan kepentingan. Perjanjian tersebut juga disebut tidak disetujui komisaris.
BHIT juga mengaku merugi, lantaran perjanjian baru 2006 tersebut mewajibkan BMTR harus membayar US$ 13,85 juta untuk KT Freetel, serta US$ 39,50 juta untuk Qualcom Inc. Kerugian BMTR tentu menjadi kerugian BHIT yang merupakan pemegang saham mayoritas.
"Pemulihan kerugian penggugat (BHIT) hanya bisa dilakukan dengan menyatakan batal dan tidak sah, serta tidak berlaku Perjanjian Put and Call Option Agreement antara Global Mediacom dengan KT Freetel Co Ltd dan Qualcom Inc pada 9 Juni 2006," tulis BHIT.
Gugatan BHIT ini pada akhirnya dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Menyatakan batal dan tidak berkekuatan hukum Put and Call Option Agreement tanggal 9 Juni 2006 antara BMTR dengan KT Freetel Co Ltd dan Qualcom Inc," tulis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 27 April 2017.
Baca Juga: Global Mediacom (BMTR) ubah jaminan empat surat utangnya
Kemenangan ini juga menjegal kewajiban BMTR membayar pembelian 406,61 juta lembar saham Mobile-8 Telecom milik KT Corporation senilai US$ 13,85 juta. Meskipun, KT Corp sudah memperkuat kewajiban tersebut dengan keputusan arbitrase internasional ICC. Pada tahun 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyebut, eksekusi pembayaran ini harus ditunda sehubungan dengan keabsahan perjanjian tahun 2006.
BMTR bilang, KT Corporation telah melakukan Peninjauan Kembali pada Februari 2018, tetapi gagal lagi lantaran ditolak oleh MA.
Hingga rilis laporan keuangan 2019, manajemen BMTR yang mengaku belum menerima putusan dari MA mengatakan, manajemen berkeyakinan tidak perlu membuat penyisihan atas kemungkinan kerugian yang tumbuh di kemudian hari akibat tuntutan ini.
Mencari sensasi
Perjalanan panjang perjanjian opsi ini menjadi alasan BMTR menilai gugatan terbaru yang diajukan KT Corporation pada 28 Juli 2020 lalu tidak valid.
"Terkesan permohonan diajukan sebagai bagian dari upaya mencari sensasi di tengah kondisi ekonomi dunia yang sedang menghadapi Pandemi Covid-19," tulis Christophorus Taufik dalam rilis resminya, Minggu (2/8).
Baca Juga: Berencana jual saham baru, Pefindo angkat outlook Global Mediacom (BMTR)
BMTR juga mempertanyakan validitas KT Corp mengajukan gugatan pailit. Mengingat, pada tahun 2003 yang berhubungan dengan perseroan adalah KT Freetel Co. ltd, dan kemudian pada tahun 2006 hubungan tersebut beralih kepada PT KTF Indonesia.
Manajemen BMTR pun berencana mengambil tindakan hukum balik dengan pertimbangan tindakan KT Corp merupakan pencemaran nama baik. Bahkan, ada kemungkinan BMTR menempuh pelaporan secara pidana kepada pihak kepolisian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News