Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kinerja pasar modal Indonesia masih bergantung pada segelintir saham saja. Bahkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih disetir oleh saham-saham perbankan, padahal jumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus bertambah.
Sepanjang tahun berjalan ini hingga akhir perdagangan Rabu (26/6), IHSG sudah melemah 3,50% ke level 6,832.14. Mayoritas saham perbankan masih menjadi pemberat langkah IHSG.
Seperti saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang turun 14,39% secara year to date dan menekan IHSG sebesar 72,97 poin. Kemudian ada PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang menggerus IHSG sebanyak 69,67 poin.
BEI mencatat, di atas 70% saham tercatat memiliki aktivitas transaksi di bawah rata-rata pasar. Kemudian lebih dari 75% saham tercatat memiliki spread harian lebih tinggi dari rata-rata pasar.
Baca Juga: BEI Umumkan Evaluasi Mayor Indeks Syariah, BRPT dan JSMR Jadi Sorotan
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Iman Rachman menyampaikan sebenarnya, masalah likuiditas berkaitan dengan suplai yang ada di pasar modal Tanah Air. Artinya berhubungan dengan emiten baru.
“Untuk itu kami berusaha agar semakin banyak perusahaan lighthouse yang bisa IPO. Tahun ini kami menargetkan ada lima perusahaan lighthouse yang melantai,” ucapnya dalam konferensi pers, Rabu (25/6).
Iman menjelaskan lighthouse company merujuk pada penawaran umum perdana saham sebuah perusahaan dengan nilai kapitalisasi di atas Rp 3 triliun dan free float minimal 15%.
Hingga saat ini, sudah ada tiga lighthouse IPO yaitu PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU), PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) dan PT Yupi Indo Jelly Gum Tbk (YUPI).
Dalam pipeline BEI saat ini masih ada dua perusahaan mercusuar lagi yang akan melantai di 2025. Dimana salah satunya adalah aksi Initial Public Offering (IPO) dari PT Chandra Asri Investasi Tbk (CDIA)
Baca Juga: Paket Stimulus BEI dan OJK Tak Mempan untuk Gairahkan Pasar Saham Indonesia
Adapun CDIA akan menawarkan maksimal 12,48 miliar saham. Jumlah setara dengan 10% dari modal ditempatkan dan disetor penuh pasca penawaran umum perdana.
Pada masa penawaran awal alias bookbuilding, CDIA mematok harga IPO di kisaran Rp 170–Rp 190. Dus, total dana segar yang berpotensi diraup entitas Grup Barito ini mencapai Rp 2,37 triliun.
BEI juga sudah memperkenalkan penyedia likuiditas alias liquidity provider saham. Iman bilang penyedia likuiditas ini ditargetkan dapat mulai menjalankan tugasnya pada kuartal III-2025.
BEI berhadap dengan kehadiran liquidity provider diharapkan terjadi peningkatan agregat nilai transaksi sampai dengan 11,5% pada saham persentil 90 terbawah dan terjadi penurunan rerata spread pasar di bawah tiga tick.
Sementara itu, transaksi bisa meningkat dari sebelumnya 75% menjadi 90%. Spread harian yang saat ini tiga tick dengan adanya liquidity provider saham bisa mengurangi bid offer menjadi sekitar dua tick.
Baca Juga: BEI Ubah Ketentuan Trading Halt dan Auto Rejection, Ini Kata Para Analis
Dalam pipeline BEI saat ini sudah ada 13 anggota bursa yang menyatakan minatnya untuk menjadi liquidity provider saham. Delapan di antaranya merupakan anggota bursa lokal dan lima sisanya anggota bursa asing.
“Selain meningkatkan jumlah lighthouse IPO untuk meningkat likuiditas di pasar ekutitas, kami juga mendorong likuiditas di produk derivatif dan structured product,” kata Iman.
Misalnya, di produk derivatif BEI sudah meluncurkan kontrak berjangka indeks asing dengan single stock futures. Iman bilang nantinya BEI akan memperluas single stock futures dari hanya lima underlying saham menjadi 10.