kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perbankan menyedot dana dari pasar modal


Senin, 17 April 2017 / 11:09 WIB
Perbankan menyedot dana dari pasar modal


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Sejumlah emiten perbankan bersiap menghimpun pendanaan melalui rights issue. PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW), misalnya. Bank asal Qatar ini mengincar Rp 2 triliun dengan menerbitkan 8,23 miliar saham di aksi korporasi itu.

PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk (SDRA) berniat melepas maksimal 1,26 miliar saham, dengan nilai nominal Rp 100 per saham. Ada pula PT BRI Agro Tbk (AGRO) yang mengincar dana Rp 1 triliun melalui rights issue. Tak mau ketinggalan, PT Bank Permata Tbk (BNLI) membidik Rp 1,5 triliun.

Sepanjang tahun lalu, likuiditas perbankan cukup ketat. Tapi di sisi lain, bank butuh antisipasi untuk mengerek penyaluran kredit terutama hingga akhir tahun nanti, seiring maraknya proyek infrastruktur pemerintah. "Sehingga, untuk mengatasi hal ini, perbankan berupaya memperkuat struktur pendanaannya," ujar Bima Setiaji, Analis NH Korindo Securities, akhir pekan lalu.

Cara yang paling efisien adalah, mencari sumber pendanaan dari pasar modal. Tapi memang, bukan hanya rights issue yang menjadi andalan, melainkan penerbitan obligasi. Buktinya, hingga kuartal pertama, perbankan sudah menghimpun Rp 9 triliun dari penerbitan obligasi.

Sekadar informasi, total investasi proyek infrastruktur mulai 2015 hingga 2019 diprediksi total mencapai Rp 5.500 triliun. Asumsikan saja 30% di antaranya didanai melalui kredit perbankan. Artinya, ada kebutuhan kredit infrastruktur Rp 300 triliun sampai Rp 350 triliun setiap tahun. Dengan kebutuhan sebesar itu, ada kenaikan permintaan kredit sebesar 5% saban tahun hanya dari sektor infrastruktur.

"Sektor perbankan sejatinya punya kemampuan mengucurkan kredit sebesar itu," ungkap Alexander Margaronis, Analis UOB Kay Hian Securities, dalam riset pada 5 April lalu.

Tapi, bank juga perlu mengambil tindakan minimal untuk menjaga atau kalau perlu mengerek likuiditas jangka panjang. "Karena, jika hanya mengandalkan DPK dan modal sendiri untuk penyaluran kredit, loan to deposit ratio (LDR) bank bisa 100% dalam beberapa tahun ke depan," kata Alexander.

LDR yang tinggi menunjukkan bank yang bersangkutan sudah meminjamkan hampir seluruh dananya untuk nasabah. Akibatnya, kemampuan mengucurkan kredit berkurang. Dengan kata lain, semakin tinggi LDR, kondisi bank itu semakin rawan.

Sebaliknya, LDR yang rendah memperlihatkan bank itu kelebihan dana. Sehingga, bank siap menyalurkan kredit sewaktu-waktu. Karena itu, bank ramai-ramai menggalang dana terutama melalui aksi rights issue.

Jika mengacu pada semua sentimen itu, hampir bisa dipastikan sektor perbankan masih menarik. Tapi, ada yang paling menarik di antara yang menarik.

Alexander menjagokan saham BBNI dan BBCA. BBNI punya rekam jejak pertumbuhan kinerja baik karena fokus mengucurkan kredit infrastruktur. Ia merekomendasikan beli BBNI, dengan target Rp 7.100 per saham.

Untuk BBCA, return on equity (ROE) bank ini yang membuatnya menarik. Alexander memprediksikan, ROE BBCA tahun ini 18,9%, tertinggi dibanding bank lain. Ia merekomendasikan beli untuk saham BBCA, dengan target harga Rp 17.350.

Bima juga menjagokan BBNI. Sebab, pertumbuhan kreditnya termasuk paling tinggi, 21,4% (yoy) menjadi Rp 396 triliun. "Ini merupakan sinyal yang positif ke depannya," imbuh dia.

BNGA juga tak kalah menarik. Sebagai bank yang akan masuk ke BUKU IV pada tahun ini, price to book value (PBV) BNGA sebesar 0,7 kali0,8 kali. Itu merupakan level yang paling murah ketimbang PBV bank lain.

Dari sisi prospek, hanya BNGA yang berpotensi mampu mencatatkan pertumbuhan laba lebih dari 25% tahun ini. "Sementara bank BUKU IV lainnya hanya diestimasikan sebesar 5% hingga 15% ," ungkap Bima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×