kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perang Rusia-Ukraina Picu Harga Komoditas Energi Naik Tajam


Kamis, 03 Maret 2022 / 14:16 WIB
Perang Rusia-Ukraina Picu Harga Komoditas Energi Naik Tajam


Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Konflik antara Rusia - Ukraina belum memperlihatkan tanda-tanda mereda. Di saat bersamaan, harga komoditas energi terbang imbas dari perang kedua negara tersebut.

Maklum, Rusia merupakan salah satu negara produsen komoditas energi, yakni minyak mentah dan gas alam yang terbesar di dunia.

Imbas dari konflik ini, harga minyak jenis West Texas Intermediate kontrak pengiriman April pada hari ini, Kamis (3/3) menyentuh level US$ 113,37 per barrel. Level tersebut merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Bahkan, jika dihitung secara year to date, harga minyak WTI telah berhasil menguat hingga 51,67%.

Komoditas energi lainnya, yakni gas alam, juga tercatat mengalami kenaikan harga yang signifikan. Harga gas alam kontrak pengiriman April terpantau berada di level US$ 4,88 per mmbtu. Padahal, pada akhir tahun 2021, harga gas alam masih berada di US$ 3,51 per mmbtu. Artinya, secara ytd, harga gas alam telah menguat 39,03%.

Baca Juga: Kekhawatiran Terganggunya Pasokan Memicu Harga Gas Alam Naik 39% Sejak Awal Tahun

Namun, yang paling mengejutkan adalah kenaikan harga komoditas energi lainnya, yakni batubara. Harga batubara di ICE Newcastle saat ini terpantau berada di level US$ 446 per ton alias level tertinggi sepanjang masa. Jika dihitung secara ytd, penguatan harga si batu hitam ini telah mencapai 233,83%.

Research & Development ICDX Girta Yoga menjelaskan, konflik Rusia - Ukraina memang punya dampak yang signifikan terhadap komoditas energi. Adanya konflik tersebut berpotensi mengganggu produksi minyak mentah serta gas alam Rusia.

Di sisi lain, berbagai negara juga menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, salah satu sanksi terbaru datang dari Uni Eropa yang berniat mengeluarkan Rusia dari sistem perbankan SWIFT.

“Hal ini sangat berpotensi akan menghambat pembiayaan perdagangan termasuk untuk penjualan minyak mentah maupun gas alam dari Rusia ke pasar global,” jelas Yoga kepada Kontan.co.id, Rabu (2/3).

Baca Juga: Rally minyak WTI Terus Berlanjut, Diproyeksikan Tembus Level US$ 120 Per Barel

Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono menambahkan, pelaku pasar saat ini tengah khawatir dengan potensi terjadinya disrupsi pada pasokan gas alam dan minyak mentah. Hal ini bisa dipicu oleh beberapa hal seperti sanksi ekonomi dari berbagai negara ke Rusia, respons Rusia dengan sengaja membatasi pasokan gas alam dan minyak.

Sejauh ini, Inggris telah melarang kapal Rusia untuk keluar dari pelabuhan yang berpotensi mendisrupsi pengiriman gas alam dari Rusia. Menurutnya, saat ini banyak kalangan yang mengkhawatirkan Uni Eropa nantinya akan mengikuti langkah serupa. Padahal, Rusia memasok lebih dari 40% kebutuhan gas alam Uni Eropa.

“Jadi pergerakan harga gas alam ini sebenarnya bukan karena faktor fundamentalnya, tapi lebih dikarenakan kekhawatiran para pelaku pasar terhadap potensi risiko dari pemberlakuan sanksi larangan ekspor ke Rusia,” imbuh Wahyu 

Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan perang di Ukraina dan Rusia ini membuat suatu ketegangan baru yang memicu kebutuhan minyak mentah dunia ini semakin tinggi.

Sementara di satu sisi, produksi minyak global justru stagnan. Di saat yang bersamaan, tingginya harga minyak maupun gas alam membuat berbagai negara beralih ke batubara.

"Bahwa kebutuhan batubara di setiap negara tinggi sekali pada saat terjadi perang seperti ini. Sementara transportasi untuk suplai batubara di laut Atlantik ke Eropa sedang terhambat akibat perang," tutur Ibrahim.

Menurut Ibrahim harga batubara diperkirakan akan mencapai lebih dari US$ 490 per ton. Hal ini sejatinya merupakan hal yang ekstrim untuk harga kenaikan harga barang komoditas. Namun, ia melihat kecil kemungkinan harga batubara tersebut bisa turun selama perang masih berlanjut.

Baca Juga: Harga Minyak Lanjut Menguat, Dibayangi Kecemasan Pasokan Imbas Invasi Rusia

Koreksi pada harga batubara dinilai baru akan terjadi ketika peperangan sudah mereda sehingga Rusia akan menarik pasukannya kembali. Selain itu, hubungan diplomasi antara Rusia, Eropa, Inggris dan Amerika juga akan membaik sehingga berbagai sanksi ekonomi bisa diangkat. 

Yoga juga berpendapat sama, menurutnya, kunci pergerakan harga minyak mentah akan ada pada perkembangan perang. Selain itu, keputusan OPEC+ terkait kebijakan produksi, apakah akan tetap mempertahankan atau akan melakukan penyesuaian juga bisa jadi katalis penggerak harga minyak. 

Berdasarkan proyeksi Yoga, jika ternyata krisis Eropa Timur masih bertahan dalam jangka lama, maka harga minyak berpotensi menemui level resistance di kisaran harga US$120 - US$140 per barel, atau level yang terlihat pada 2008 sewaktu terjadinya krisis ekonomi global.

Baca Juga: Atasi Perubahan Iklim, Transisi ke Energi Baru Terbarukan Diperlukan

"Apabila ada perkembangan yang bisa jadi katalis negatif untuk minyak, maka harganya berpotensi turun ke level support di kisaran harga US$ 90 - US$ 70 per barel,” ucapnya.

Sedangkan Wahyu meyakini volatilitas harga gas alam masih akan terus berlanjut ke depan selama belum ada kejelasan soal konflik Rusia-Ukraina beserta sanksi ekonominya. Proyeksinya saat ini, harga gas alam berpotensi bergerak menuju ke area US$ 8 - US$ 10 per mmbtu. 

Namun, jika ternyata perang terus memanas dan berkepanjangan, bukan tidak mungkin gas alam mencapai rekor baru ke kisaran US$ 14 - US$ 16 per mmbtu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×