Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemulihan aktivitas ekonomi seiring meredanya penyebaran kasus Covid-19 telah membuat penyaluran kredit dari perbankan mulai tumbuh. Penyaluran kredit perbankan nasional tercatat tumbuh 3,24% secara year on year atau senilai Rp 5,65 triliun per Oktober 2021.
Dengan ekspektasi pemulihan ekonomi ke depan, artinya penyaluran kredit akan semakin tumbuh. Hal ini dikhawatirkan akan memberi dampak pada obligasi negara.
Maklum, perbankan saat ini menjadi salah satu investor yang punya porsi kepemilikan SBN yang dominan. Terlebih lagi, porsi kepemilikan bank di SBN kini mulai turun.
Merujuk data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR), pada awal tahun 2021, kepemilikan bank di SBN mencapai 36,62%. Namun, per 9 Desember sudah menyusut menjadi 35,26%.
Head of Fixed Income Bank Negara Indonesia Fayadri membenarkan bahwa ada peningkatan pencairan fasilitas kredit pada perbankan. Hal ini tidak terlepas dari aktivitas ekonomi dan sosial yang mulai bangkit seiring dengan mulai meredanya pandemi Covid-19.
Baca Juga: Meski pertumbuhannya melambat, bankir menilai deposito masih diminati
Ia bilang, selain memberikan imbal hasil (bunga) yang lebih tinggi dibanding obligasi, penyaluran kredit juga dapat jadi pintu masuk bank untuk memperoleh pendapatan fee dari berbagai layanan perbankan lainnya yang dapat ditawarkan kepada debitur mereka.
Fayadri mengingatkan, Covid-19 ini belum sepenuhnya hilang. Kemunculan varian baru masih mungkin terjadi dan berpotensi untuk kembali menahan pemulihan perekonomian. Karena itu, menurutnya dari sisi nasabah tentu akan memperhitungkan perkembangan pandemi ini serta dampaknya terhadap kegiatan bisnisnya sebelum mengajukan pembiayaan/kredit kepada perbankan.
“Sebenarnya, tren penurunan kepemilikan SBN di perbankan saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh mulai meningkatnya penyaluran kredit. Proyeksi perubahan arah kebijakan suku bunga secara global juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhinya,” kata Fayadri ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (10/12).
Menurutnya, potensi kenaikan suku bunga acuan di tahun depan mulai diantisipasi investor dengan meminta imbal hasil yang lebih tinggi. Hal ini telah memberikan dampak berupa kenaikan tingkat imbal hasil SBN dalam beberapa minggu terakhir.
Fayadri juga bilang, sejauh ini bukan hanya perbankan yang mulai keluar dari SBN, namun investor asing pun juga keluar.
Dari data DJPPR, per 30 Desember 2020 porsi kepemilikan asing sebanyak 25,16% dan porsi kepemilikan domestik sebesar 74,84%. Sementara per 9 Desember 2021 porsi kepemilikan asing turun menjadi 19,93% dan porsi kepemilikan domestik meningkat menjadi 80,07%.
“Kalau kita perhatikan sepanjang tahun ini, arus keluar dari pemodal asing ini masih dapat diimbangi oleh pemodal domestik yang memang dalam kondisi likuiditas sangat kuat,” imbuhnya.
Terlebih lagi dengan adanya kesepakatan burden sharing antara Departemen Keuangan dengan Bank Indonesia. Selain sebagai salah satu strategi penanganan dampak Covid-19 oleh Pemerintah,strategi ini terbukti juga memberikan dampak positif guna menopang pasar SBN.
Baca Juga: Arus modal asing hengkang dari pasar keuangan, cadangan devisa diprediksi turun lagi
Fayadri meyakini, dengan masih kuatnya kondisi likuiditas serta kelanjutan kesepakatan burden sharing diperkirakan masih akan menjadi kekuatan utama investor dalam negeri pada pasar SBN. Hal ini tentunya dapat menjaga keyakinan investor terhadap kestabilan dan likuiditas pasar SBN.
Sementara untuk tahun depan, menurutnya, pasar obligasi sepertinya masih akan dipengaruhi oleh isu yang sama dengan tahun ini. Isu-isu meliputi proyeksi kenaikan inflasi seiring pemulihan ekonomi, perubahan kebijakan arah suku bunga, serta perkembangan penanganan pandemi Covid-19.
“Dari porsi kepemilikan obligasi, tahun depan dominasi investor domestik sepertinya masih akan berlanjut terutama ditopang oleh kondisi likuiditas yang cukup kuat,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News