Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) mencatatkan kinerja kurang memuaskan di paruh pertama 2023. Pendapatan dan laba emiten perkebunan kelapa sawit ini negatif karena penjualan yang Crude Palm Oil (CPO) yang lebih rendah.
Analis Ciptadana Sekuritas Yasmin Soulisa mencermati, penghasilan AALI yang mengecewakan karena biaya tinggi dan penjualan yang lebih rendah. Penjualan CPO alias minyak sawit mentah lesu karena harga CPO global tidak mendukung.
Pendapatan AALI secara kumulatif di semester pertama 2023 turun 14,4% YoY menjadi Rp 9,39 triliun. Sementara, laba Astra Agro Lestari merosot 54,6% YoY menjadi Rp 368 miliar di semester I-2023 karena semua segmen mengalami pertumbuhan negatif.
Penjualan CPO Astra Agro Lestari turun 9,1% YoY menjadi Rp 8,65 triliun, sementara Kernel Sawit (PK) turun 25,1% YoY menjadi Rp 699 miliar. Produk sawit lainnya juga sedikit menurun 1,7% YoY menjadi Rp 39 miliar.
Baca Juga: Kinerja Emiten CPO Diproyeksi Masih Bergejolak, Cermati Saham Rekomendasi Analis
Dibandingkan dengan pendapatan, Harga Pokok Penjualan (COGS) lebih lambat karenanya Gross Profit Margin (GPM) menyusut 566 bps menjadi 10,9%, sementara Operating Profit Margin (OPM) menyusut menjadi 3,5% dibandingkan 10,8% di semester I-2022 karena rasio operational expenditure (opex) yang lebih tinggi.
“Pendapatan AALI yang lesu karena harga CPO yang lebih rendah, sementara produksi tetap bergerak pada jalurnya,” ungkap Yasmin dalam risetnya.
Yasmin menjelaskan, buruknya pendapatan terjadi terutama karena harga CPO dunia yang lebih rendah dari perkiraan di semester I-2023. Secara rata-rata, harga CPO dunia turun 4,4% QoQ menjadi RM3.840/ton di kuartal kedua 2023. Sehingga, harga rata-rata CPO global menjadi RM3.929/ton untuk periode semester I-2023 atau mengalami penurunan sebesar 37,8% YoY.
Dari segi produksi, produksi Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO AALI masih relatif sejalan dengan estimasi Ciptadana Sekuritas. Produksi TBS menjadi 2,11 juta ton pada semester I-2023, atau meningkat 7,9% YoY. Sedangkan produksi CPO mencapai 619 ribu ton yang sedikit turun sebesar 3,1% YoY karena rata-rata utilisasi pabrik yang lebih rendah.
Produk minyak sawit lainnya seperti produksi Olein dan PKO masing-masing terpantau naik 51,3% YoY dan 3,2% YoY menjadi 187 ribu ton dan 20 ribu ton. Sedangkan, produksi Kernel Sawit turun 5,1% YoY menjadi 131 ribu ton pada semester I-2023.
Menurut Yasmin, tingkat persediaan CPO tinggi di Indonesia dan Malaysia berperan terhadap turunnya harga minyak sawit mentah. Di samping itu, situasi global juga kurang menguntungkan bagi prospek CPO seperti India sebagai salah satu pengimpor minyak sawit terbesar di dunia yang menaikkan pajak impor minyak sawit untuk membantu petani tanaman rapeseed yang menurunkan harga.
Sisi baiknya, program pencampuran biodiesel yang lebih tinggi sebesar 35% dari 30% di tahun lalu diharapkan mendukung permintaan minyak sawit dalam negeri, sehingga membantu menjaga harga CPO. Adanya peningkatan kebutuhan biodiosel dari B30 ke B35 tersebut artinya porsi CPO yang dibutuhkan juga turut meningkat.
Baca Juga: ERAA dan ACES Getol Ekspansi, Simak Prospek Bisnis dan Rekomendasi Sahamnya
Selain itu, harga CPO bisa menanjak akibat fenomena El Nino yang menyebabkan suhu global memanas. BMKG telah memperkirakan peluang 50% hingga 60% El Nino terjadi pada semester II-2023, di mana cuaca ekstrem secara historis mengarah kepada harga yang lebih kuat.
Dengan mempertimbangkan tingkat harga yang rendah di paruh pertama 2023, Ciptadana Sekuritas memangkas proyeksi harga CPO global tahun 2023 menjadi RM4,500 per ton dari sebelumnya RM5.200 per ton.
Hanya saja, Analis RHB Sekuritas Hoe Lee Leng memandang dampak El Nino pada produksi minyak sawit baru akan terlihat pada tahun 2024, meskipun kemungkinan besar fenomena tersebut akan segera terkonfirmasi. Dengan demikian, proyeksi harga CPO tetap dipertahankan sebesar RM3.900 per ton untuk tahun 2023.
Jika fenomena El Nino mempengaruhi cukup kuat, maka akan berdampak pada pasokan CPO. Sementara harga diperkirakan masih terus tertahan oleh permintaan yang lesu.
Terlepas dari dampak El Nino yang kuat dan adanya perang Rusia-Ukraina yang menghalangi ekspor tanaman apapun dari Laut Hitam, prospek fundamental bagi emiten CPO dinilai tetap relatif tidak menarik. Pasokan CPO masih begitu banyak yang tidak diimbangi oleh permintaan yang sedikit.
“Pasokan diperkirakan masih akan kuat, sementara permintaan tetap agak lesu,” tulis Hoe Lee Heng dalam riset 24 Juli 2023.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji menyebutkan, sentimen positif untuk meningkatkan permintaan CPO adalah kehadiran China dan India untuk menyerap ketersediaan minyak sawit mentah. Prospek perekonomian yang lebih baik dari kedua negara importir terbesar CPO tersebut akan membantu penyerapan.
China dan India diperkirakan mencapai pertumbuhan ekonomi optimal karena di semester kedua perekonomian global diharapkan sudah lebih baik, meskipun alami perlambatan. Sentimen pandemi covid ataupun konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina dianggap sudah tidak menjadi masalah yang berarti.
Dari domestik, pesta pemilihan umum bisa menjadi momentum untuk mengangkat permintaan minyak sawit mentah yang memiliki produk turunan salah satunya minyak goreng. Saat periode pemilu biasanya kebutuhan pokok meningkat dan daya beli masyarakat semakin tinggi.
“Dengan pemulihan ini bisa menjadi motor bagi permintaan CPO di kawasan Asia maupun global. Bisa terjadi kenaikan permintaan, tetapi sentimen di kawasan Eropa terkait pengesahan UU Deforestasi masih membatasi permintaan,” jelas Nafan saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (3/8).
Nafan merekomendasikan hold untuk AALI dengan target harga sebesar Rp 8.250 per saham. Sedangkan, Yasmin merekomendasikan buy dengan target harga sebesar Rp 9.400 per saham.
Sementara itu, Hoe Lee heng menyarankan sell AALI dengan target harga sebesar Rp 6.700 per saham. Terlepas dari revisi asumsi kenaikan harga CPO, saham emiten Grup Astra ini masih dinilai terlalu tinggi yang diperdagangkan pada Price Earning (PE) 12 kali pada 2024 dibandingkan perusahaan sejenis di kisaran 5 kali – 10 kali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News