kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Penguatan rupiah untungkan emiten


Selasa, 09 Januari 2018 / 08:30 WIB
Penguatan rupiah untungkan emiten


Reporter: Nisa Dwiresya Putri | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus menguat sejak akhir 2017 lalu. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat rupiah ada di level Rp 13.397 per dollar AS, Senin (8/1). Penguatan nilai tukar mata uang Garuda ini menguntungkan sejumlah emiten. 

Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) Vidjongtius mengatakan, penguatan rupiah punya dampak positif buat perusahaan farmasi tersebut. Sebab, KLBF banyak mengandalkan bahan baku impor. "Mudah-mudahan rupiah kuat dan stabil, tidak banyak bergejolak sepanjang tahun 2018 ini," ujar dia kepada Kontan.co.id, Senin (8/1).

Dampak penguatan rupiah akan dirasakan dalam kurun waktu tiga hingga empat bulan ke depan. Sebab, KLBF masih memiliki beberapa persediaan bahan baku. Hitungannya, setiap 1% penguatan rupiah mampu mengurangi  biaya produk KLBF sekitar 0,2%-0,3%.

Tira Adianti, Head Investor Relations PT Astra International Tbk (ASII), juga mengatakan, grup otomotif ASII terpengaruh positif jika rupiah menguat, karena ada komponen dan sebagian kecil kendaraan yang diimpor. "Tapi yang paling penting bagi Astra dan adalah nilai tukar stabil. Sebab kalau terlalu volatil akan sulit melakukan perencanaan bisnis," ujar dia. 

Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas Alfred Nainggolan menilai, penguatan rupiah akan positif bagi kinerja keuangan sejumlah emiten. Hal ini terutama akan dirasakan emiten-emiten di sektor farmasi dan kimia, yang menggunakan bahan baku impor. 

Selain itu, penguatan rupiah juga menguntungkan emiten yang punya utang dalam bentuk dollar AS. "Ini karena cost mereka sudah terprediksi, sehingga risikonya bisa turun,” imbuh Alfred.

Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, mengatakan, emiten dengan lini bisnis sektor manufaktur akan lebih diuntungkan. Sebagai contoh, ada beberapa bahan baku properti yang sering diimpor seperti kaca dan baja.

Animo investor asing

Penguatan rupiah juga bisa mendorong minat investor asing. Dengan stabilitas rupiah, investor dapat menikmati return atau yield dividen secara lebih optimal. Jika rupiah terdepresiasi, tentunya return yang didapat akan berkurang ketika terjadi konversi.

Tak hanya di pasar saham, menurut Alfred, hal ini juga akan dirasakan bagi investor asing yang berinvestasi di obligasi. Apresiasi nilai tukar rupiah juga mencerminkan kondisi makroekonomi Indonesia yang membaik. Sehingga, dana asing bisa kembali masuk ke pasar modal. 

Namun, Hans memperkirakan sepanjang tahun ini pergerakan rupiah masih akan cukup fluktuatif. Ia bahkan melihat ada sejumlah sentimen yang bisa membuat rupiah kembali melemah. 

Misalnya saja, rencana The Federal Reserve menaikkan suku bunga setidaknya sebanyak dua kali tahun ini. Sementara itu, normalisasi neraca bank sentral Amerika Serikat itu juga masih bergulir. "Pergerakan rupiah akan berkisar di rentang Rp 13.300–Rp 13.700," prediksi Hans. 

Menurut dia, penguatan rupiah di awal tahun ini lebih disebabkan sentimen negatif yang menekan dollar AS. Adanya pemotongan pajak AS memicu kekhawatiran pasar bahwa negara nantinya tak punya cukup dana untuk belanja. Selain itu, rilis data ekonomi AS, seperti data tenaga kerja juga belum cukup kuat. 

Stabilitas rupiah terhadap dollar AS sepanjang tahun ini juga bergantung pada realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, kondisi politik masih bisa mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah "Harapannya bisa lebih stabil," ujar Alfred.

Dengan target pertumbuhan ekonomi 5,3%, Alfred menilai rupiah masih bisa menguat. Apalagi, BI juga ingin mendorong pertumbuhan kredit. "Ada apresiasi lembaga rating juga. Tapi nanti kuartal II baru bisa dilihat lagi prospeknya," tutur Alfred.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×