Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus Covid-19 di Indonesia kembali melonjak tajam, bahkan dalam beberapa hari terakhir tambahan kasus harian di atas 20.000. Pemerintah pun tengah mengkaji untuk mengimplementasikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Sosial (PPKM) Darurat sebagai upaya mengurangi laju penyebaran Covid-19 di tanah air.
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengatakan, implementasi PPKM Darurat berpotensi menyeret nilai tukar rupiah. Mengingat, hal tersebut berpotensi membuat aktivitas ekonomi terbatas, yang tentunya akan semakin menghambat pemulihan ekonomi.
“Hal ini nantinya juga akan memperlambat pertumbuhan dan berpengaruh pada target PDB Indonesia,” kata Alwi kepada Kontan.co.id, Selasa (29/6).
Senada, Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana juga melihat dalam jangka pendek akan ada peningkatan risiko pada sektor riil yang berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2021 tersendat.
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7%-8% yang ditetapkan bisa saja tak tercapai. Bahkan Fikri melihat pertumbuhan ekonomi bisa saja hanya ada di kisaran 5%-6% pada periode April-Juni 2021.
Baca Juga: Loyo lagi, rupiah spot ditutup melemah ke Rp 14.485 per dolar AS pada hari ini (29/6)
Jika hal tersebut terjadi, ia melihat bukan tidak mungkin investor domestik akan menahan diri sehingga pada akhirnya membuat rupiah tertekan. Dalam pekan ini, menurut dia, rupiah masih dalam tekanan dan berpotensi tembus ke Rp 14.500 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara kepala ekonom Bank Central Asia David Sumual tak menampik PPKM Darurat akan memberi dampak negatif bagi rupiah, namun dampaknya justru tidak akan signifikan. PPKM Darurat lebih memberi dampak pada aktivitas ekonomi, khususnya sektor konsumsi masyarakat karena adanya pembatasan kegiatan.
“Dibanding Covid-19 ataupun PPKM Darurat, justru yang harus diwaspadai bagi nilai tukar rupiah itu adalah sentimen tapering. Kini banyak negara yang sudah berjalan memasuki fase pemulihan dan mulai membahas kebijakan tapering, ini lebih memberikan risiko terhadap rupiah,” terang David.
Fikri menambahkan, sikap Federal Reserve yang memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan setidaknya dua kali sebelum tahun 2023 berakhir juga menjadi risiko rupiah di masa depan. Dia menilai, sinyal The Fed berpotensi memicu terjadinya capital outflow dari berbagai emerging market, termasuk Indonesia.
Lebih lanjut, Fikri memperkirakan, memasuki paruh kedua tahun ini, kondisi pasar keuangan Indonesia, baik itu saham maupun SBN akan mengalami tekanan. Dus, ini akan menekan outlook nilai tukar rupiah ke depan.
Oleh karena itu, Fikri meyakini kekhawatiran investor tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Menurutnya, Bank Indonesia (BI) sebaiknya melakukan intervensi untuk melakukan stabilisasi terhadap rupiah ke depan.
Selain sentimen eksternal, Alwi mengingatkan pemerintah juga harus fokus terhadap masalah penyebaran varian Delta yang begitu cepat. Bagaimanapun, kunci pemulihan ekonomi saat ini juga bergantung pada penanganan Covid-19, serta upaya vaksinasi yang agresif guna mempercepat proses pemulihan aktivitas ekonomi. Jika hal tersebut bisa ditangani, Alwi memperkirakan prospek rupiah di paruh kedua kemungkinan bisa membaik.
Baca Juga: Rupiah berpotensi kembali melemah pada perdagangan Rabu (30/6)
Di satu sisi, David meyakini walau rupiah cenderung melemah, sebenarnya saat ini posisinya masih cukup baik. Tebakan David, rupiah akan berada di rentang Rp 14.300 - Rp 14.500 per dolar AS yang merupakan level fundamental untuk saat ini. Terlebih ini merupakan level rupiah yang ideal bagi eksportir maupun importir.
“Kemungkinan besar, rupiah masih akan cukup stabil ke depan, sekalipun tapering terjadi. Saat ini, porsi investor asing di SBN hanya sekitar 23%, berbeda dengan 2013 silam yang mencapai 40%. Jadi dengan likuiditas dalam negeri yang melimpah, dampak tapering harusnya bisa diminimalisir,” imbuh David.
Pada akhir tahun nanti, David memperkirakan rupiah akan berada pada rentang Rp 14.300 - Rp 14.600 per dolar AS. Sementara Alwi memproyeksikan, mata uang Garuda di kisaran Rp 14.360 - Rp 14.650 per dolar AS.
Sedangkan Fikri menghitung, nilai tukar rupiah akan berada dalam kisaran Rp 14.000 - Rp 15.000 per dolar AS.
Selanjutnya: Jika tarif PPN jadi dikerek, begini pengaruhnya terhadap inflasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News