Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memberikan dampak signifikan terhadap kinerja pasar saham dan emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pada perdagangan Rabu (5/3), rupiah kembali ditutup menguat terhadap dolar AS. Rupiah spot ditutup di level Rp 16.313 per dolar AS, naik 0,81% dari hari sebelumnya.
Namun, akhir pekan lalu, rupiah sempat mencatatkan rekor terburuk sejak Juni 1998 dengan masuk ke level Rp 16.596 per dolar AS.
Pelemahan itu memberikan dampak ke kinerja pasar saham sekaligus para emiten yang terdaftar di dalamnya. Tengok saja salah satunya PT Kalbe Farma Tbk (KLBF).
Baca Juga: Rupiah Ditutup Menguat ke Rp 16.313 Per Dolar AS Hari Ini, Paling Perkasa di Asia
Corporate External Communication Kalbe Farma, Hari Nugroho menyatakan, pelemahan rupiah berdampak pada kinerja bisnis perseroan. Kalbe menggunakan budget Rp 16.100 per dolar AS untuk rencana bisnis tahun ini, sesuai dengan asumsi dasar ekonomi makro pemerintah tahun 2025.
Selain itu, sebagian besar bahan baku saat ini, khususnya active pharma ingredients dan skimmed milk, masih harus diimpor akibat keterbatasan suplai bahan baku dalam negeri.
“Kisaran impor bahan baku dengan mata uang dolar AS adalah sekitar 60%-70%,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (4/3).
Seiring dengan langkah strategis KLBF mendirikan JV Global Starway Synergy di Shenzhen-China, saat ini perseroan mulai menggunakan pembayaran dalam mata uang lokal negara impor. Misalnya, menggunakan Renminbi/Yuan untuk bahan baku obat dari China.
Kalbe pun mencadangkan kas dalam dolar AS sebagai mitigasi fluktuasi nilai tukar rupiah/dolar AS.
“Bentuknya cadangan kas dalam dolar AS. Ada kisaran waktu 3 bulan (hingga dampak fluktuasi kurs ke kinerja), mengikuti inventory days alias perputaran persediaan,” paparnya.
Baca Juga: Simak Racikan Kalbe Farma (KLBF) Bidik Kinerja Positif di Tahun 2025
Namun demikian, KLBF tetap berinovasi untuk mencari substitusi bahan baku impor menjadi lokal untuk mengurangi ketergantungan atas pembelian bahan baku impor.
Perseroan juga terus membangun kapabilitas untuk produksi dalam negeri untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai strategi jangka panjang.
“Strategi kenaikan harga akan diterapkan secara selektif dengan memperhatikan kondisi daya beli masyarakat,” kata Hari.
Hal serupa juga dirasakan oleh PT Astra International Tbk (ASII). Head of Corporate Investor Relation ASII Tira Ardianti mengatakan, Astra memiliki proyeksi rentang rupiah yang fleksibel menyesuaikan dengan pergerakan nilai tukar yang signifikan, dengan mempertimbangkan berbagai skenario makro ekonomi yang dapat mempengaruhi nilai tukar.
ASII juga menerapkan strategi hedging sebagai salah satu upaya memitigasi risiko pasar. Selain itu, diversifikasi bisnis Grup Astra mendukung resiliensi kinerja dalam situasi pelemahan rupiah, karena beberapa bisnis perseroan memiliki pendapatan dalam dolar AS.
“Sambil mengelola risiko nilai tukar, grup juga fokus pada efisiensi operasional dan kestabilan keuangan untuk mendukung kinerja,” katanya kepada Kontan, Rabu (5/3).
Sementara, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN mengaku secara berkala mengevaluasi asumsi makroekonomi, termasuk nilai tukar.
Sekretaris Perusahaan PGN Fajriyah Usman mengatakan, evaluasi itu menjadi salah satu asumsi dalam Corporate Guidance 2025 yang telah disampaikan ke pemegang saham.
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini masih dalam pemantauan perseroan, namun secara umum tidak secara signifikan memengaruhi operasional utama.
“Kami menerapkan strategi mitigasi risiko yang prudent untuk memastikan stabilitas keuangan dan operasional yang dievaluasi secara periodik,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (4/3).
Baca Juga: Maksimalkan Gas Alam Cair, Simak Rekomendasi Perusahaan Gas Negara (PGAS)
PGAS juga memiliki eksposur terhadap mata uang asing, namun dampaknya terhadap operasional utama tetap terkendali. Perseroan pun mengelola risiko fluktuasi kurs melalui strategi mitigasi, di antaranya melalui kebijakan natural hedge untuk menjaga efisiensi biaya melalui tiga fokus utama.
Yaitu, menyeimbangkan antara aset rupiah dan liabilitas pada pinjaman yen Jepang (JPY), menggunakan kurs Jisdor pada penerimaan pelanggan yang sama dengan kurs pencatatan laporan, serta mengadopsi kebijakan mitigasi kurs lainnya yang prudent dan hati-hati.
“Dengan pendekatan ini, kami masih optimistis bahwa volatilitas nilai tukar tidak berdampak signifikan terhadap kinerja perseroan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, PGN berkomitmen terus menjaga efisiensi operasional dan mengoptimalkan strategi keuangan guna menghadapi dinamika nilai tukar. PGAS menerapkan natural hedge, strategi pengelolaan keuangan yang prudent dan hati hati, serta evaluasi secara periodik untuk memastikan kinerja tetap solid.
“Fokus kami adalah mempertahankan layanan terbaik bagi pelanggan dan menjaga pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan di tengah dinamika ekonomi yang ada,” katanya.
Rekomendasi analis
Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan melihat, penurunan rupiah membuat investor agak was-was di pasar saham. Investor asing cenderung memilih keluar, karena imbal hasil mereka dalam dolar AS menjadi lebih kecil.
“Sementara, investor lokal juga lebih hati-hati karena ketidakpastian pasar makin tinggi. Ini bisa menekan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam jangka pendek,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (4/3).
Sektor yang paling terkena beban adalah yang industrinya membutuhkan banyak impor bahan baku, kayak farmasi, konsumer (olahan gandum dan jagung), serta bahan dasar, seperti pupuk.
“Biaya produksi naik, margin bisa makin tipis. Plus, emiten yang punya utang dolar AS bakal makin berat bebannya karena kurs melemah,” ungkapnya.
Sebaliknya, sektor yang berorientasi ekspor justru positif, seperti sektor batubara, minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO), hingga manufaktur yang berorientasi ekspor. Sebab, para emiten itu melakukan penjualan dalam dolar AS dan bisa meningkatakan pendapatan.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Sektor Batubara & Migas di Tengah Fluktuasi Harga Sektor Energi
Menurut Felix, emiten-emiten di sektor tersebut pun bisa jadi penyelamat APBN juga, apalagi jika pajak dari mereka naik.
“Dengan adanya devisa hasil ekspor (DHE) yang sampai 1 tahun lamanya bisa meningkatkan likuiditas dolar AS di dalam negeri dan harapannya dapat menguatkan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu mendatang,” paparnya.
Meskipun begitu, investor disarankan untuk melakukan stock picking saat ini. Misalnya, saham-saham ekspor bisa menjadi pilihan. Lalu, big banks yang menarik karena penurunan dalam selama dalam beberapa pekan terakhir dan adanya ekspektasi dividen juga.
Namun, kalau investor mencari yang lebih defensif, mereka bisa melirik sektor telekomunikasi atau konsumer.
“Yang penting, tetap perhatikan sentimen global dan kebijakan pemerintah ke depan agar tidak terjebak di posisi yang salah,” ungkapnya.
Felix pun menyarankan investor untuk memperhatikan BBRI dengan target harga Rp 5.500 per saham, BMRI dengan target harga Rp 7.200 per saham dan ISAT dengan target harga Rp 2.400 per saham.
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo Indy Naila melihat, pelemahan rupiah membawa sentimen kurang baik ke minat investor di bursa, karena menimbulkan kekhawatiran akan ketidakpastian ekonomi global maupun Indonesia.
Investor asing pun merasa kurang tertarik dengan pasar Indonesia karena melihat banyak isu dari program pemerintahan baru kepada perusahaan-perusahaan pemerintah yang dinilai belum transparan.
Baca Juga: Kinerja Emiten Konsumer Susah Terangkat Libur Isra Miraj dan Imlek
Selain itu, rilis data deflasi Indonesia bisa menimbulkan spekulasi perlambatan ekonomi global dan membawa pelemahan rupiah lebih lanjut. Kondisi itu juga ditambah dengan kondisi kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang masih perlu ditelaah lagi.
“Investor merasa dengan pelemahan rupiah ini akan menekan kinerja keuangan saham-saham dan kekhawatiran perlambatan ekonomi sehingga minat ke bursa melemah,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (5/3).
Menurut Indy, pelemahan rupiah paling memberatkan kinerja saham dari emiten konsumer dan basic material selama satu minggu ini. Misalnya, INKP dan MDKA cukup tertekan dengan sentimen pelemahan rupiah ini.
Untuk BUMN, saham yang terkena dampak dari pelemahan rupiah adalah dari sektor barang baku, seperti TINS dan SMGR. Selain itu, sektor perbankan juga terdampak berat, seperti BRIS, BJBR, BMRI, BBRI dan BBNI.
Sementara, sektor yang masih cukup terkena dampak positif dari pelemahan rupiah datang dari sektor energi lantaran ekspor yang meningkat.
“Di kondisi sekarang, investor bisa memilih saham-saham energi dengan berhati-hati melihat fluktuasi harga dari komoditas juga,” paparnya.
Indy pun menyarankan investor untuk memperhatikan TAPG dengan support Rp 735 per saham dan resistance Rp 855 per saham, PGAS dengan support Rp 1.435 per saham dan resistance Rp 1.710 per saham, serta LSIP dengan support Rp 930 per saham dan resistance Rp 1.200 per saham.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan melihat, korelasi antara rupiah dan IHSG biasanya bersifat positif. Sehingga, ketika rupiah melemah, IHSG juga cenderung melemah.
Hal ini disebabkan oleh dominasi investor asing di saham-saham berkapitalisasi pasar besar alias big caps.
“Jika rupiah melemah, hal itu mengindikasikan adanya capital outflow dari asing, yang berpotensi menekan pasar modal,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (5/3).
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham dan Prospek Emiten Farmasi di Tahun 2025
Menurut Ekky, pelemahan rupiah berdampak negatif pada sektor farmasi, konsumsi, dan bahan baku industri (basic materials). Sebab, biaya impor bahan baku meningkat seiring dengan kenaikan kurs.
“Di sisi lain, emiten-emiten di sektor ini sulit untuk langsung menaikkan harga jual, sehingga marjin keuntungan dapat tergerus akibat meningkatnya beban biaya,” paparnya.
Sementara itu, sektor komoditas biasanya diuntungkan karena pendapatannya dalam dalam dolar AS, seperti batubara, nikel, dan CPO. Namun, saat ini ada tantangan lain berupa tren pelemahan harga komoditas global, yang juga menjadi faktor pemberat bagi kinerja sektor tersebut.
“Oleh karena itu, untuk saat ini investor disarankan wait and see hingga ada kejelasan arah pergerakan pasar,” ungkapnya.
Ekky pun merekomendasikan buy untuk TBIG dan ASII. Untuk TBIG, tren sahamnya sedang bullish kuat dengan target harga terdekat di level Rp 2.500 per saham dan Rp 3.000 per saham jika kenaikan berlanjut.
Untuk ASII, sahamnya juga terlihat menarik, karena mulai ada pembalikan arah pergerakan. Target harga ASII ada di level Rp 4.800 per saham, Rp 5.000 per saham, dan Rp 5.200 per saham untuk trading. Investor bisa melakukan cutloss jika harga ASII di bawah Rp 4.500 per saham.
Selanjutnya: Cadangan Devisa Indonesia Diproyeksikan Capai US$ 157,5 Miliar pada Februari 2025
Menarik Dibaca: Bunga Deposito Tertinggi di Bank DBS di Bulan Maret 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News