Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha kompak berharap adanya revisi terkait aturan perpajakan transaksi kripto. Tingginya pajak transaksi dikhawatirkan semakin mendorong outflow di aset kripto.
CEO Triv Gabriel Rey mengatakan, terjadi fenomena outflow di aset kripto Indonesia. Sebab, banyak investor yang melakukan transaksi melalui exchanger luar negeri.
Ia melihat, salah satu penyebabnya karena biaya transaksi yang lebih murah, yaitu 0,1% tanpa ada tambahan apapun. "Sementara di Indonesia 0,21 ditambah fee exchange, sehingga kurang lebih sekitar 0,31% yang mana sangat tinggi," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (26/3).
Karenanya, ia berharap jelang transisi kewenangan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) salah satu aturan yang perlu dibahas terkait pajak kripto.
Baca Juga: Exchanger Sambut Positif POJK 3/2024 Tentang Inovasi Teknologi Sektor Keuangan
Adapun berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), nilai transaksi aset kripto sebesar Rp 55,26 triliun sepanjang Januari - Februari 2024. Perdagangan fisik aset kripto di bulan Februari sendiri tercatat Rp 33,69 triliun atau naik 56,22% dari bulan Januari.
Jumlah pelanggan aset kripto yang terdaftar per Februari 2024 sebesar 19,18 juta pelanggan, dengan rata-rata kenaikan jumlah pelanggan terdaftar sebesar 427.200 pelanggan per bulan terhitung sejak data ini dilaporkan pada Februari 2021. Pelanggan yang aktif bertransaksi di platform CPFAK periode Februari 2024 sebanyak 715.600 pelanggan.
"Kenaikan itu lebih dikarenakan lonjakan harga kripto, tetapi overall di pasar, dari blockchain ada outflow ke pedagang luar negeri," katanya.
CEO Indodax Oscar Darmawan juga sepakat bahwa ada urgensi pada aturan pajak kripto Indonesia. Ia mencontohkan, transaksi kripto turun hingga 50% di periode halving yang sebetulnya menjadi momentum kenaikan harga kripto.
Baca Juga: Transaksi dan Investor Kripto Bulan Februari Meningkat, Terangkat Reli Bitcoin
Ia menyebutkan, jika dibandingkan dengan transaksi Indodax di periode halving tahun 2020 ada penurunan yang signifikan. "Saat ini yang seharusnya adalah masa halving 4 tahun sekali, transaksinya tidak sampai setengah dari masa periode halving sebelumnya," ungkapnya.
Padahal, lanjutnya, jumlah investor di Indodax saat ini mencapai 6 juta investor. Sementara saat halving 2020, jumlah investornya hanya 4 juta. "Maka dari itu diperlukan pemicu untuk merangsang pertumbuhan investor di Indonesia," sebutnya.
Oscar berharap industri kripto sebaiknya tidak dikenakan PPN seperti di berbagai negara di dunia, yakni Malaysia, Singapura, Thailand, Australian, dan Brazil.
CEO Tokocrypto dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia ( Aspakrindo)Â Yudhono Rawis juga berpandangan serupa. Ia menyebut, jika melihatnya secara komprehensif, hal yang paling urgent adalah pertimbangan skema pajak kripto.
Menurut UU P2SK, nantinya kripto sudah masuk kategori aset keuangan digital bukan komoditi, sehingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak berlaku lagi seharusnya akan sama seperti saham, yaitu hanya dikenakan pajak PPh Final ketika menjual.
Baca Juga: Indonesia Diharapkan Belajar dari Thailand Terkait Regulasi Kripto
"Hal ini karena, pertama kesamaan karakteristik antara saham dan kripto dan keduanya merupakan aset yang dapat diperjualbelikan dan memiliki potensi keuntungan," paparnya.
Menurutnya, salah satu solusi yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah mengurangi tarif pajak PPN untuk transaksi kripto. Langkah ini akan menjadikan skema pajak kripto lebih adil, tanpa memberatkan terlalu banyak bagi pelaku usaha kripto.
Lebih lanjut, dengan adanya tambahan biaya transaksi seperti biaya bursa kripto, kliring, dan kustodian, fee tambahan tersebut harus bersaing secara lebih kompetitif untuk menjaga keunggulan dalam ekosistem kripto di Indonesia.
"Transisi pengawasan ke OJK diharapkan dapat membawa regulasi yang lebih komprehensif dan terintegrasi, sehingga industri kripto dapat berkembang secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News