Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Noverius Laoli
Oscar berharap industri kripto sebaiknya tidak dikenakan PPN seperti di berbagai negara di dunia, yakni Malaysia, Singapura, Thailand, Australian, dan Brazil.
CEO Tokocrypto dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia ( Aspakrindo)Â Yudhono Rawis juga berpandangan serupa. Ia menyebut, jika melihatnya secara komprehensif, hal yang paling urgent adalah pertimbangan skema pajak kripto.
Menurut UU P2SK, nantinya kripto sudah masuk kategori aset keuangan digital bukan komoditi, sehingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak berlaku lagi seharusnya akan sama seperti saham, yaitu hanya dikenakan pajak PPh Final ketika menjual.
Baca Juga: Indonesia Diharapkan Belajar dari Thailand Terkait Regulasi Kripto
"Hal ini karena, pertama kesamaan karakteristik antara saham dan kripto dan keduanya merupakan aset yang dapat diperjualbelikan dan memiliki potensi keuntungan," paparnya.
Menurutnya, salah satu solusi yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah mengurangi tarif pajak PPN untuk transaksi kripto. Langkah ini akan menjadikan skema pajak kripto lebih adil, tanpa memberatkan terlalu banyak bagi pelaku usaha kripto.
Lebih lanjut, dengan adanya tambahan biaya transaksi seperti biaya bursa kripto, kliring, dan kustodian, fee tambahan tersebut harus bersaing secara lebih kompetitif untuk menjaga keunggulan dalam ekosistem kripto di Indonesia.
"Transisi pengawasan ke OJK diharapkan dapat membawa regulasi yang lebih komprehensif dan terintegrasi, sehingga industri kripto dapat berkembang secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News