Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Menipisnya pasokan Surat Berharga Negara (SBN) bisa menaikkan harga obligasi. Sebab, para investor yang kurang beruntung di pasar primer akan berburu surat utang di pasar sekunder guna memenuhi kebutuhan penempatan dana.
Mengutip situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR), realisasi penerbitan Surat Utang Negara (SUN) per 4 Agustus 2015 sudah mencapai Rp 359,71 triliun atawa sekitar 79,55% dari target yang dipatok Rp 452,18 triliun. Berarti, sisa kuota penerbitan hanya sebesar Rp 92,47 triliun.
Rencananya, jatah tersebut akan ditutup dari penawaran surat utang ritel berdenominasi rupiah alias Obligasi Ritel Indonesia (ORI) seri ORI-012 mulai 17 September hingga 15 Oktober mendatang dengan target indikatif sekitar Rp 20 triliun.
Selain itu, pemerintah masih memiliki 16 jadwal lelang SUN maupun sukuk, sebanyak delapan kali di sisa kuartal ketiga 2015 dan delapan kali pada kuartal terakhir.
Analis Millenium Capital Management Desmon Silitonga optimistis pemerintah masih dapat memperoleh kelebihan penawaran (oversubscribe) pada lelang mendatang. “Untuk ORI-012 penawaran yang masuk bisa sampai Rp 25 triliun,” imbuhnya.
Sebab, penyaluran kredit perbankan masih melambat. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2015, jumlah kredit yang disalurkan bank umum mencapai Rp 3.747,3 triliun, naik 10,3% secara year on year (yoy). Pertumbuhan penyaluran kredit tersebut lebih rendah ketimbang posisi Maret 2015 yang tumbuh 11,1% secara yoy.
Mengacu data DJPPR per 7 Agustus 2015, porsi kepemilikan perbankan di SBN tercatat Rp 417,97 triliun atau sekitar 30,27% dari total secara keseluruhan yang mencapai Rp 1.380,73 triliun. Perlambatan penyaluran kredit akan mendorong perbankan untuk menaruh dananya di instrumen investasi seperti SUN karena lebih likuid.
Kendati demikian, Analis obligasi BNI Securities I Made Adi Saputra menilai, kenaikan harga obligasi akan terbatas menyusul nilai tukar rupiah yang belum mengilap. Kurs rupiah di pasar spot pada Senin (10/8) melemah 0,07% menjadi Rp 13.550,5 dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Mata uang Garuda tertekan akibat spekulasi kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias Federal Reserve (The Fed) pada pengujung tahun 2015.
Pelemahan rupiah akan memicu para investor asing kabur dari pasar obligasi dalam negeri. “Investor asing akan jual SUN duluan karena lebih likuid. Kalau dikonversikan kembali ke dollar AS, mereka dapatnya lebih sedikit, jadi rugi,” jelasnya.
Oleh karena itu, Made mengingatkan pemerintah agar memacu serapan anggaran belanja negara di paruh kedua tahun 2015 guna mendongkrak perekonomian. Selain mengendalikan inflasi, lanjutnya, pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI) juga harus berusaha membangkitkan kembali kinerja rupiah agar tak terpuruk lebih dalam.
Jika pemerintah berhasil menahan pelemahan rupiah, Made menilai, yield SUN seri acuan (benchmark) FR0070 pada akhir tahun 2015 akan berkisar 8,2% - 8,4%. “Kalau rupiah melemah lagi hingga Rp 13.800, yield akan naik hingga 8,7%,” terkanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News